Aku berusaha.
Sungguh mati aku berusaha! SUWER! Rumus, angka, dan tanda misterius yang sepertinya berfungsi sebagai pemanggil jin! Aku tidak mengerti pelajaran yang berhubungan dengan ilmu hitung selain uang! Di luar saja aku terlihat tenang, sok mengerti, catat cantik di buku, kemudian mengangguk. Padahal dalamnya muwehehe bohong. Kosong. Melompong.
Sepanjang pelajaran aku berpura-pura menjadi murid budiman baik hati dan patut dipuji guru. Mengabaikan kehadiran Romeo yang sepertinya fokus ke mengamati Sarah. Lantas ketika bel istirahat berbunyi langsung luntur dong kepura-puraan murid budiman.
Terbilas begitu saja.
Tak tersisa.
Siapa bilang menjadi murid itu kegiatan paling mudah? Omong kosong. Semua kegiatan baik yang dikerjakan oleh tenaga profesional sampai rutinitas ibu rumah tangga, semua sama berat. Tidak baik membandingkan apalagi menyepelekan orang lain dari segi profesi, pengetahuan, dan penampilan luar. Orang berbeda. Jelas berbeda! Bila semua hal serupa, maka alangkah mengerikan dunia ini! Serbaputih, serbalonjong, serbamirip. Tidak ada ciri pembeda. Ngeri!
Ah aku melantur. Biasa, kurang makan. Tadi aku hanya sarapan roti tawar. Mana puas? Kurang! KURANG! Minimal minum teh atau jus. Ini aku hanya makan roti tawar dan sedikit air putih (waktu mandi dan gosok gigi, kan, ada sedikit air yang tanpa sengaja terminum. Anggap saja itu minum).
Aku melipat tangan di meja, membenamkan wajah, dan meratap. “Isekai sialan! Mengapa aku tidak jadi tokoh sampingan kaya raya? Bukankah orang susah sepertiku setidaknya pindah raga sebagai holang kaya? Aish!”
“Nggak,” kataku kepada diri sendiri. “Masa depan cemerlang masih terbentang lebar.”
Kemudian aku menguatkan diri, menegakkan tubuh, dan mendapati....
Sarah menghampiri mejaku. Senyum ramah mengembang di bibir. “Laura, ayo kita ke kantin?”
Aku meraih buah jeruk dan apel dari dalam tas. “Makasih,” aku menolak tawaran Sarah. “Ada bekal.” Uang Adam rencananya akan aku kumpulkan sebagai cadangan melarikan diri dari rumah ratapan anak tiri. Aku tidak bisa selamanya bergantung kepada Adam. Terlebih Marisa kesaktiannya menyerupai dendam Nyi Pelet. Bedanya? Nyi Pelet tergila-gila dengan Kangmas Radite, sementara Marisa tergila-gila membuatku sakit. Konyol.
Romeo bangkit, menarik tangan Sarah dengan pelan. “Kamu nggak perlu nawarin,” katanya sedingin air es. “Kamu tadi pagi hanya sarapan sedikit. Sarah, kamu harus makan.”
Nyenyenyenye nye! Iya, aku numpang lewat doang. Beginilah nasib tokoh ketiga, bila tidak disamakan dengan iblis maka akan mengalami nikmatnya jadi obat nyamuk. Sekalian saja aku jadi raket listrik! CETES, CETES, CETES.
“Romeo, kita berdua tahu Laura sakit.” Sarah benar-benar mengabaikan saran si villain dan ngotot beramal kepadaku. “Kamu lihat plester di pipi Laura. Jelas-jelas Mama keterlaluan.”
Oh shii-eh kurang ajar. “Kalian,” kataku sembari bangkit. “Adios.”
“Laura,” Romeo memanggil. Ada ketegasan dalam nada suaranya. Meskipun tidak sedingin, yah dia memang dingin, tetapi setidaknya panggilan kali ini jauh lebih baik daripada sebelumnya. “Sarah bilang kamu perlu makan.”
“Terus?” aku menantang. “Harus nurut gitu? Sarah sayang, aku nggak butuh simpati. Oh jangan salah paham, aku nggak ada niatan ngejahilin kamu seperti biasanya.” Sekarang aku menjentikkan jari sembari pamer senyum ala iklan pasta gigi. “Justru sekarang aku berencana hidup mandiri, bebas dari kalian, terutama Tante Marisa.”
“Laura, Mama nggak ada niat buruk,” Sarah mencoba memberi penjelasan terkait sikap sadis bin gaib milik Marisa. “Dia hanya perlu waktu memahami kamu. Aku yakin suatu saat Mama pasti mengerti.”
Whatever....
Aku memutar bola mata dan pura-pura menguap. “Sarah, jujur aja deh. Tante nggak suka aku. Romeo jelas banget nggak suka aku. Kamu pun nggak perlu berusaha menyukaiku. Benci itu normal kok asal nggak ada niat ngebunuh aja.”
“Laura,” Romeo memperingatkan, “jaga omonganmu.”
“Atau kamu bakalan ngumpanin aku ke ikan hiu?” aku meledek. Oh mulutku ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi dengan batin dan otak. “Udahlah kita hidup sendiri-sendiri. Aku janji nggak bakalan mencampuri urusan kalian. Sarah, nggak semua orang butuh perhatianmu. Satu-satunya yang aku butuhkan adalah keadilan. Tante Marisa telah berbuat biadab. Kamu bisa bayangkan sakitnya pipi ini.”
Tiba-tiba saja aku sadar bahwa anak sekelas tengah memperhatikan kami. Namun, aku memilih abai. Kedua orang yang ada di hadapanku pun mendadak membisu.
“Nggak semua orang pantas diperlakukan seperti ini,” kataku dengan suara bergetar. “Suatu saat aku bakalan mandiri dan kalian nggak perlu cemas mengenai diriku. Sekalian saja bilang kepada Tante bahwa aku tidak akan diam. Aku akan melawan ketika diriku disakiti olehnya. Bahkan kalau perlu balas gigit. Mata balas mata. Walau aslinya aku malas bertengkar dan suka damai, tetapi bila Tante ngotot menyakitiku seperti biasa....” Aku sengaja menggantung kalimat terakhir. Kemudian seulas senyum ala tokoh antagonis terpeta di wajahku. “Aku bakalan berubah jadi iblis yang paling dia takuti, Sarah.”
“Apa maksudmu?” Romeo yang pertama kali bersuara. Dia telah melepas tangan Sarah dan kini maju selangkah mendekatiku. “Aku nggak ngerti. Apa benar kamu Laura?”
Wadidaw. Gawat! “Kenapa? Kamu nggak biasa lihat orang balas melawan?”
Romeo makin mendekat hingga sekarang aku terpaksa mendongak agar tidak terlihat lemah di bawah tatapan matanya.
“Kamu yakin bisa melawan Tante Marisa dengan kesombonganmu?” Romeo meanntang. Kini kedua tangannya bertumpu di mejaku. HOWEK aku tidak suka adegan ini. Tolong ganti pemain. Semisal Orlando Bloom atau aktor Thor! Dih kok dia sih? “Gadis kecil yang bahkan nggak bisa bertahan tanpa makan.”
“Romeo,” aku mengoreksi, “orang bakalan mati kalau nggak makan. Kamu bisa mundur? Soalnya wajahmu menghancurkan hari indahku. Oke?”
Romeo berjengit, seolah perkataanku membuatnya ditampar berkali-kali.
“Laura, ayolah aku yakin hubungan kita bisa lebih baik,” Sarah membujuk. Dia berhasil pulih dari kebekuan dan kini mulai merayu.
“Nggak,” aku tetap menolak. Menjauh dari tokoh penting bisa menolongku menghindar dari masalah. “Anggap saja aku kupu-kupu liar. Udah.”
Secepat kilat aku melenggang pergi meninggalkan kelas. Tidak peduli kepada Sarah maupun Romeo. Dih aku punya urusan penting. Masa bodoh dengan percintaan mereka. Semoga Tuan Male Lead bisa bersaing dengan Romeo, si Villain utama. Aku berencana jadi rakyat biasa yang hidup bahagia sampai tua. Oh yeah!
Berhubung ide pertama adalah mencari uang, maka aku menengok mading sembari mengunyah apel. Ada beberapa lomba menulis berhadiah uang. Lekas aku memotret poster dan merencanakan mengumpulkan uang tambahan.
Kemudian aku berjalan-jalan secara asal tanpa arah. Semua anak punya teman. Cuma aku doang yang sendiri. Hahaha Laura, semoga saja aku kuat. Oh aku harus bisa lulus dan cari kerja! Adam dan Marisa tidak bisa mengganggu rencana mandiri milikku. Mungkin aku tidak bisa melamar sebagai pegawai kantor berhubung toleransi bermasyarakatku payah. Namun, aku bisa bekerja di belakang layar!
“Masa depan!” teriakku dalam hati. “Tunggu aku!”
***
Selesai ditulis pada 19 Juni 2022.***
Maaf, yang lain nunggu saya dapat ketenangan batin. Ini saya sedang nyaman nulis Laura. Berhubung dia sama sablengnya dengan Adel. Oh ya, terima kasih atas segala kebaikan yang teman-teman berikan kepada saya. Saya jadi merasa bahagia lagi. Hehehe. Tetap nggak suka app yang comot tulisan saya. Udahlah saya capek. Sekarang saya mau fokus nulis agar kalian nggak merasa digantung. Oke? Kita mending lanjut senang-senang dan semoga yang curang dapat hukuman dari Tuhan.Makasih teman-teman. I love youuuu. Saya kasih cinta sebanyaaaak mungkin untuk kalian.
Salam hangat,
G.C
KAMU SEDANG MEMBACA
Lady Antagonis (TAMAT)
FantasiKehidupanku biasa saja. Membosankan dan menyebalkan. Entah mengapa ibu-ibu kaum nyinyir melabeliku sebagai orang bermasalah. "Oke, aku kuat." Itulah yang berkali-kali aku tanamkan dalam benak. Kuat. Kesehatanku memburuk akibat kebiasaan hidup tidak...