12

162 9 0
                                    

Hari ini, tepatnya saat warung makan dibuka hingga sekarang, Bu Narti tidak melihat sikap yang diinginkannya mengenai Faiz pada Ningsih. Semuanya berjalan sebagaimana biasanya. Meski kadang Faiz menaruh sedikit perhatian pada Ningsih.

Sungguh, Bu Narti kesal melihat sikap anak kandungnya. Setidaknya, mulai sekarang Faiz harus bersikap sedikit terbuka pada Ningsih. Namun, sikap Faiz seperti hanya memberi harapan. Sebenarnya jauh di dalam itu, dalam artian karena sama-sama perempuan, Bu Narti dapat merasakan perasaan Ningsih pada Faiz. Sehingga sore itu, ketika Faiz telah menyiapkan lauk makan malam untuk Ningsih, Bu Narti langsung mendekat pada Faiz.

“Kamu itu sebenarnya gimana? Perasaan kamu ke Ningsih kayak apa? Kalau memang tidak, ya tidak. Kalau iya, ya iya. Mulai sekarang kamu harus terbuka, Faiz. Kamu sudah dewasa, duda pula. Kejadian lama tentunya jadi perhitunganmu untuk memilih istri. Ningsih juga. Tentunya sebagai perempuan dia pasti tidak mau diberi harapan.”
“Masalahnya bukan itu, Bu.”
“Lalu, apa lagi masalahnya?”
“Aku masih trauma karena kejadian yang lalu.”
“Semua orang hampir pernah mengalaminya, Anakku. Bahkan ada laki-laki yang malah jadi duda dua hingga tiga kali. Hal itu seharusnya bikin kita introspeksi, bukan menyerah pada takdir.”
“Aku memikirkan anak-anak, Bu.”
“Itu bagus. Dan anak-anakmu butuh kasih sayang seorang ibu. Dan Ibu sudah dari dulu bilang, perempuan yang tepat untukmu sepertinya hanya Ningsih.”
“Lalu, bagaimana jika nanti Ningsih yang akhirnya menolakku? Terlebih akhir-akhir ini aku suka melihat mantan suaminya suka menyambangi rumah kontrakannya.”
“Kalau begitu kamu jangan menyerah kalah. Anakku, Ibu begitu memperhatikan masa depanmu. Ibu sangat sayang pada cucu-cucu Ibu.”
Faiz diam. Ditatapnya wajah sang ibu. Hanya ibu yang dimilikinya saat ini.
“Lalu, apa yang sebaiknya aku lakukan, Bu?”
“Lakukan apa yang sebaiknya kamu lakukan. Seperti saat ini, Ningsih mau pulang, coba kamu menawarkan mengantarnya. Kasihan juga, kan, kalau tiap sore dia pulang berjalan kaki. Perempuan itu sangat halus perasaannya. Mereka tidak mau memulai, jadi kamu laki-laki yang memulai. Ibu takut kamu menyesal jika sampai Ningsih nanti diambil orang lain. Apalagi perempuan model Ningsih. Orangnya sangat tulus padamu, pada Ibu, pada keluarga kita. Coba kalau Ningsih bersikap tidak peduli. Mungkin sudah lama dia berhenti kerja dari sini. Kalaulah dia masih bertahan, bisa jadi yang dipikirkannya adalah kamu.”
Faiz diam lagi. Mencerna kata-kata ibunya. Sampai akhirnya dia tersadar karena hari telah semakin sore. Bahkan Ningsih sudah bersiap mau pulang.
“Mas,” panggil Ningsih.
Bu Narti dan Faiz menoleh.
“Oh iya, maaf, Ning, lagi bicara sama Ibu. Mau pulang, kan?”
“Iya, Mas. Sudah sore.”
“Ya, lauk dan sayur juga nasi sudah Mas siapin. Biarkan Mas yang antar pulang, ya?”
“Nggak usah, Mas. Nggak perlu repot-repot. Ningsih biasa jalan kaki.”
“Ning. Biar Faiz yang mengantar. Kamu, kan, udah capek kerja. Lalu jalan kaki sampai ke kontrakan,” kata Bu Narti.
Ningsih diam dan memandang Bu Narti.
“Sudah gih. Iz, antarkan dia pulang naik motor.”
“Ya, Bu.”
Ningsih tidak dapat menolak lagi. Bu Narti kini malah semakin memaksanya. Sementara Faiz sudah menuju motornya, bersiap menyalakan kendaraan roda dua itu.
Ningsih mengangguk pada Bu Narti, lalu duduk di boncengan.Setelah itu motor yang dikemudikan Faiz melaju ke jalan raya.
Melihat itu, Bu Narti merasa lega. Dia berharap mereka berjodoh. Tentu sebagai seorang ibu, dia selalu berdoa untuk kebahagiaan Faiz.

***

Anak-anak sudah tidur semua, begitu pun Bu Narti. Faiz bergegas menuju kulkas. Dia meneguk air putih untuk membasahi kerongkongannya, lalu berdiri di balkon lantai dua ruko ini. Pandangannya menghadap langit. Tanpa sadar, semuanya berkelebat kembali dalam benaknya.

Perceraian itu. Perceraian yang baginya terasa menyakitkan. Faiz terkenang peristiwa lalu.
Faiz tahu dia bukan anak orang berada. Dia menikah dengan Ratna tentu saja karena perasaan cinta. Namun, ternyata cinta saja tidak cukup untuk membangun mahligai perkawinan. Terimpit dalam perekonomian yang susah, membuat Faiz bekerja keras untuk kehidupan rumah tangganya.

Faiz bangun pukul 04.00. Dia langsung ke rumah makan tempatnya bekerja. Dia bukan pekerja kantoran. Bukan pula pekerja swasta. Hanya buruh tukang masak yang hanya bergaji kecil. Faiz baru pulang pukul 16.00. Dan kadang itu pun harus kembali ke rumah makan jika ada pesanan.

Rumah tangganya awalnya baik-baik saja. Semuanya adem ayem. Sampai Fathan besar. Namun, mendadak ada sesuatu yang berbeda pada istrinya. Atau mungkin saking sibuknya, Faiz hampir tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi pada istrinya.
Kala itu, istrinya suka diantar pulang oleh bos tempatnya bekerja. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali. Untuk mencukupi kehidupan rumah tangga, istrinya memang turut bekerja. Karena Fathan sudah besar, dan Ara baru lahir—namun diurus sang nenek.

“Aku tidak suka kamu diantar pulang terus sama laki-laki itu. Aku tidak mau—”
“Mas, dia bos tempatku bekerja. Lagi pula maksudnya baik, kan, mengantar karyawannya pulang ke rumah. Lagian rumah jauh. Naik angkot uangnya juga udah seberapa banyak.”
“Tapi dulu dia tak begitu.”
“Jadi sekarang Mas mulai curiga kalau aku ada apa-apa sama dia, begitu?”
“Rat, selama ini kita bahkan nggak pernah bertengkar.”
“Pertengkaran ini juga sebabnya dimulai dari Mas Faiz. Aku harus hidup sama Mas Faiz yang pas-pasan. Kendaraan nggak punya. Coba kalau kita ada motor, Mas yang pastinya antar-jemput aku ke tempat kerja. Dan semuanya nggak jadi begini.”
“Jadi kamu pikir, aku nggak bekerja, Rat? Kamu pikir Fathan bisa besar seperti itu uangnya dari mana?”
Ratna diam, sebelum akhirnya buka suara. “Seenggaknya aku menginginkan kehidupan kita yang berubah, Mas. Aku bosan dengan kehidupan kita yang seperti ini.”
“Mas sudah berusaha, Rat. Semuanya juga kehendak Tuhan. Kalau memang—”
“Sudah, ah, Ratna capek jika harus membicarakan hal remeh seperti ini,” potong Ratna. “Dan kecemburuan Mas Faiz itu sungguh tak beralasan.”
Mula-mula hanya sekadar mengantar pulang. Namun, lama-lama Faiz merasa Ratna menyembunyi-kan sesuatu darinya. Ya, kala itu Faiz melihat kalung yang tersemat di leher istrinya. Faiz tahu, itu bukan kalung biasa. Itu kalung emas. Terlebih Faiz belum pernah membelikan perhiasan semacam itu pada istrinya.
“Kamu pakai kalung emas. Dari mana?”
Ratna memandangi diri Faiz dan memegang kalung yang dipakainya. “Memangnya salah kalau istrinya pakai kalung?”
“Tidak salah, kalau itu bukan dari laki-laki lain!” sentak Faiz, langsung pada poinnya.
“Mas, kalung ini aku beli sendiri dari uang gajiku.”
“Kamu baru dua bulan kerja. Mas bukan nggak tahu gajimu berapa di restoran itu.”
“Jadi Mas curiga kalau kalung ini—”
“Bisa saja itu terjadi. Laki-laki akan melakukan apa saja untuk perempuan yang disukainya.”
“Mas terlalu berlebihan mencurigaiku.”
“Sikap kamu yang sungguh berlebihan, Ratna.”
Sampai akhirnya, malapetaka datang. Kemarahan Faiz memuncak saat dia tanpa sengaja pulang lebih awal dari biasanya. Istrinya memang libur katanya. Namun, hari itu dia melihat istrinya dan bosnya ada di dalam rumah mereka. Istrinya sedang asyik bercumbu dengan pintu depan rumah yang masih terbuka. Kebetulan saat itu Ara dan Fathan sedang menginap di rumah sang nenek.
“Ratna!”
Betapa marahnya Faiz saat itu, sampai ingin menghancurkan barang-barang. Hatinya teramat sakit melihat pemandangan itu. Istrinya benar-benar tega. Kecurigaan Faiz terbukti, meski Ratna suka berdalih.
Faiz tidak mau mengumbar hal itu. Sangat memalukan. Sampai akhirnya bukan saja pertengkaran hebat yang terjadi, istrinya bahkan meminta cerai dan Faiz dengan cepat mengabulkan. Dia meminta hak asuh anak-anak. Meski agak sulit, namun setelah menunggu waktu yang sangat lama, hak asuh jatuh ke tangannya.
Faiz bekerja keras hingga akhirnya menjadi seperti sekarang. Anak-anak begitu tenang ada di sampingnya. Syukurlah mereka tidak pernah menyinggung soal ibu mereka. Sementara itu, dari kabar yang Faiz dengar, Ratna menjadi simpanan bosnya. Setahu Faiz, Ratna disewakan rumah. Dibangunkan sebuah restoran kecil untuk dikelola. Ratna dan Faiz memang dari dulu punya bakat memasak.
Sekarang Faiz tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi pada mantan istrinya. Karena dia sudah sibuk memikirkan hidupnya ke depan, juga masa depan anak-anaknya. Ratna memang sesekali datang. Namun, tiap kali melihat perempuan itu, rasa jijiklah yang muncul pada diri Faiz.
Sampai akhirnya Ningsih hadir. Memberikan angin segar di kehidupannya.

***

Dikejar Mantan Suami(Ada Di KBM App) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang