Tiba-tiba Adrian berhenti berbicara, bibirnya tampak terkunci tak bisa berucap apa-apa.
"Lalu, apa Adrian?! Jawab pertanyaan Bapak!" Sedikit kubentak agar ia menjawab semua keluh kesahku selama ini.Dia sedikit agak linglung, bola matanya tak menatap wajahku.
"Apa, Pak?" celetuknya.
"Katakan cepat!" timpalku.
Ia menghela napas kasar. "A-aku lupa, Pak. Maafkan Adrian, Pak!"
Aku mengernyitkan dahi melihat tingkahnya yang aneh. Adrian tampak menyembunyikan sesuatu yang amat rahasia. Namun, aku tak bisa memaksa agar ia mengatakannya.
Tujuh hari selepas kematian Raya, hening dan hawanya sangat dingin.
Namun, Sania tampak lebih segar dan bahagia.
"Sania, mau ke mana kamu!" celetukku padanya, yang sedang bedandan menor di depan cermin.
"Mau belanja, Mas. Sama Bu Puji," jawabnya singkat."Bu Puji si janda itu? Dia bukan wanita baik, Sania!"
Ia menoleh dengan sorot matanya terarah kepadaku. "Apaan, sih, Mas? Aku itu pengen nyenengin diri sendiri! Kan, kamu tahu, aku habis angkat rahim dan anak-anakku sudah diambil."
Aku menghela napas pelan. "Aku selalu memikirkan hal ganjil tentang kematian itu."
"Kamu apa-apaan, sih?! Hal ganjil apa yang kamu pikirkan, Mas?" tanyanya dengan sengit.Aku tak menimpalinya dengan kata-kata apa pun, lalu dia pergi tanpa berpamitan denganku.
***
Kurebahkan tubuhku di sofa merah tepat di ruang tamu, menatap langit-langit rumahku dan terbayang semua anak-anakku yang telah meninggal.
Asih, Raya, serta kedua bayi kembarku, mengapa kalian pergi? batinku meratapi.
Kutengok Zaki yang tak jauh dariku, asyik bermain dengan mainannya. Serta Adrian masih bersekolah.
Aku mengatur napas pelan seraya sedikit memejamkan mataku.
Kulihat sosok wanita. Namun, tak tampak jelas sedang berjalan di depanku, tetapi jaraknya amatlah jauh.
Kakiku berusaha mengejar. Namun, sangat berat sekali. Aku menengok ke kanan dan ke kiri jalan, rimbunan pohon rindang tengah mengepungku beserta wanita yang tengah berjalan itu.
Ia berjalan sangat cepat, layaknya orang berlari.
Dia siapa? Dari postur tubuhnya mirip sekali dengan Sania, batinku.Ia berhenti tepat di sebuah sungai yang besar yang tak pernah aku jumpai sebelumnya.
Aku melihat dari sebuah semak-semak, rasa ingin penasaranku sangat memuncak.
Datanglah kembali sosok wanita dengan lidah yang menjulur ke arah depan.
"Itu siapa lagi?" gumamku.
Aku melihat mereka tampak duduk bersemedi layaknya ingin memanggil sesuatu.
Suara tertawa cekikikan, dengan alunan tangis anak kecil yang tak berhenti tepat di gendang telingaku.
Aku masih terfokuskan kepada mereka yang masih tetap diam bersemedi walaupun suara aneh memang menggangguku.
"Bapak!" Entah siapa yang berbisik kepadaku, diriku terperanjat melihat sekeliling. Namun, tak ada siapa pun kecuali kedua wanita itu.
Jantungku berdegup sangat kencang serta keringat dingin yang mulai bercucuran.
Aku masih menatap mereka, sepertinya mereka sudah selesai untuk bersemedi.Salah satu dari mereka, membuka satu kantong kresek hitam, ia mengambil menjumput bunga lalu menaburkannya ke sungai hingga bunga tersebut hanyut terbawa arus.
Tak hanya itu saja, bau kemenyan pun ikut di dalamnya.
Aku yang sangat penasaran, ingin sekali bangkit lalu bertanya kepada mereka. Namun, hatiku berkata 'jangan'.
Tak butuh waktu lama, tangisan anak kecil mulai terdengar di telingaku.
Ya, suara ini tak asing lagi.
"A-Asih? Ra-Raya?" bisikku pelan dengan mataku yang tak bisa fokus dengan suara tangisan itu.
Salah seorang wanita itu tiba-tiba menengok ke arahku dengan sorot mata merah.
Aku mulai bersembunyi berharap mereka tak mengetahui keberadaanku.
Aku mengintip dari celah semak-semak ini, si wanita itu masih menatapku wajahnya sangat samar-samar aku tak bisa mengenalinya.
"Beruntung, aku cepat-cepat bersembunyi. Sebenarnya mereka tengah mengerjakan apa? Dan mengapa aku tiba-tiba berada di sini?"
Aku mencoba menepuk pipiku perlahan."Pak, bangun, Pak! Zaki tuh hampir keluar ke jalan."
Aku membuka mataku perlahan, astaga ternyata ini hanya mimpi.
"Di mana Zaki?" timpalku.
"Bapak kenapa, sih? Kok, baju Bapak sampe basah," ucap anak sulungku itu.
Kulihat dengan teliti bajuku yang memang sudah basah karena keringat.
"Ah, udah jangan pikirkan baju Bapak, mana Zaki?" timpalku lagi.
"Udah ada di teras, Pak. Emang Ibu kenapa, Pak? Tumben nggak di rumah."
Perlahan aku duduk dengan mengipas-ngipas bajuku yang sudah basah.
"Ibu pergi dengan Bu Puji," jawabku lirih.
Adrian hanya mengangguk lalu pergi meninggalkanku.
"Mau ke mana?" sahutku.
"Makan siang, Pak. Aku sudah lapar!"
Kembali kutatap langit-langit rumahku, aku pikir tadi benar-benar nyata ternyata hanya mimpi belaka.
Namun, di sisi lain, aku masih penasaran dengan apa yang ingin mereka perbuat.
"Aku yakin, wanita itu adalah Sania."
"Tapi, mengapa ada suara Asih dan Raya?"
Aku terus berpikir keras mengenai mimpiku tadi, hingga keringat dingin terus mengucur membasahi tubuhku. Tiba-tiba tidak ada angin, tidak ada badan.
Tubuhku serasa ditusuk-tusuk.
"Sakit sekali badanku."
"Adrian! Adrian!" Kupanggil Adrian dengan suara yang keras.
Ia datang dengan lari tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Pak?" tanyanya.
"Kayaknya Bapak meriang, Bapak mau ke kamar dulu, ya. Kamu jagain Zaki," ungkapku.
"Bapak mau minum obat dulu?" tanyanya.
Aku hanya menggeleng. "Nanti saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...