Prolog

107 28 94
                                    

"Ada luka yang tidak pernah terlihat pada tubuh, ia sangat dalam dan lebih menyakitkan dari pada apapun yang berdarah."

- Vania Clarissta

.
.

Rinai dan dersikan angin terdengar di luar kafetaria. Seorang gadis yang tengah terduduk malang memprediksi bahwa hujan akan segera datang dengan lebat, sadari awal senyuman dari bibir manisnya telah hirap termakan oleh suasana. Tatkala pandangan menatap manik mata kekasihnya, ia berucap, "Lalu, apa keputusanmu Vino?"

"Kita sampai di sini, Vania!"

Entah mengapa kalbu di dalam raga Vania harus hancur begitu saja dengan empat kata. Vania mengira ini semua hanyalah lelucon dan Efermeral yang tak akan berlangsung lama. Namun saat dirinya memutuskan untuk menatap kembali, ia hanya mendapati tatapan yang tak lagi nuraga.

"Aku sangat mencintaimu, Vino." ucapnya dengan nanar.

"Aku sudah tak mencintamu, asal kau tau." jawabnya sambil melangkahkan kaki, pergi.

🌺🌺🌺

Sebuah matahari yang sinarnya perlahan meredup, tenggelam di ujung pandang. Rona jingga serta mega merah nampak melambaikan ucapan selamat tinggal mewakili matahari yang mulai terbujur di pembaringan.

Pandangannya sesekali disebar, nampak burung-burung yang berlalu lalang telah berubah menjadi sekumpulan siluet yang kehitam-hitaman. Pun, lampu di sepanjang kota telah menyela dengan terang-benderang, seorang gadis yang tengah menikmati pemandangan indah itu segera menutup kembali gorden jendelanya.

Entah sejak kapan air matanya turun, yang jelas sadari tadi dia menangis hingga mata, ujung hidung, dan area sekitar alisnya memerah bak terbakar. Gadis itu menangis dengan terisak pelan, meskipun ia sudah berusaha untuk menahan agar suaranya tak terdengar. Sejak hubungan yang telah dibangunnya selama dua tahun kandas, akara di dalam memori selalu menjumpai dirinya yang merasa tergemang oleh suasana hati dan keadaan.

Vania bermonolog dengan sendu dalam benaknya ; Andai malam itu tak akan tiba. Andai malam itu ia dapat menolak keputusannya. Andai ia dapat mencegah agar hubungan ini tak berakhir begitu saja.

Mengapa, untuk menanyakan sebuah penjelasan saja Vania merasa tidak becus? Mengapa hanya kata cinta yang terucap? Apakah tak cukup jelas baginya bahwa ia telah meninggalkannya dengan cara yang cukup mengenaskan.

Nafasnya kini berderu kencang bercampur air mata yang terus berlinang. Sinar rembulan telah menjadi saksi betapa hancurnya hidup Vania ditinggalkan oleh sang dambaan hatinya.

Nasibnya yang telah menjadi nastapa ia telan bulat-bulat, walaupun pahit untuk di terima. Entah dari mana tekadnya datang, namun dirinya telah berjanji akan menanyakan sebuah penjelasan dari kata perpisahan itu.

"Gue yakin, lu bakal rapuh saat berdekatan lagi. Tapi gue mohon Van, kali ini lu harus bisa kuat." ucap Vania kepada dirinya sendiri.

Bertanya-tanya, apakah akan mungkin? Vino yang gata dan enggan melihatnya, dapatkah ia memberi segenggam petunjuk kepada Vania?

Dear Vino Anggara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang