17. Has Recovered

16 4 1
                                    

“Ketika tiba di sebuah persimpangan dan harus memilih jalan yang dilalui. Terkadang, rasanya seperti berjalan di atas treadmill, berlarian di tempat yang sama.”

- Vania Clarissta

.
.

Sudah dua minggu lamanya, Vania mengurung diri di dalam kamar. Lagi-lagi kejadian seperti ini, harus terulang kembali.
Seluruh anggota keluarganya di landa khawatir, dengan keadaan Vania.

Tok! Tok! Tok!

"Vania sayang, buka nak, ini Mama."
panggil Mamanya yang di temani oleh Oma dan Papa.

"Kalian jahat!" teriak Vania di dalam kamar.

"Vania.. buka dulu sayang." Kini Oma yang berucap.

Vania menggulung badannya dengan selimut, ia menangis di antara bantal dan guling. Rasa sesak selalu menjadi teman terbaik, selama dua minggu ini.

Di balik pintu, Mama memberi saran kepada Papa, "Pa, ada cara lain buat buka pintu?"

"Ada, bentar Mam, Papa cari alatnya dulu." Papa segera berlari, meninggalkan Mama dan Oma.

Setelah lima menit, Papa segera balik dan mengontrak-ngatrik pintu kamar, saat pintu telah terbuka, Papa berucap, "Bisa Mam!"

Jleg!

Hati Mama sesak, melihat anaknya yang berada di gulungan selimut. Tak tertahankan, pada akhirnya ia menangis kecil. "Vania sayang," panggilnya.

"Ini Mama sayang," sambungnya.

Mama mengusap pipinya yang basah, ia duduk di tepi kasur. Hatinya teriris, ia membuka selimut secara perlahan.

"Kalian jahat!" teriak Vania, masih dalam posisi yang sama. Penampilannya jauh dari kata rapih, dengan bajunya yang sangat kusut dan rambut yang sengaja di urai kini berantakan.

Mama ingin memeluk Vania secara perlahan, namun, Vania menipis tangannya dengan kasar.
"Jangan pegang!"

"Sayang ini Oma"
"Peluk sama Oma, mau?" Bujuk Oma.

Vania melirik Oma, lalu badannya secara perlahan bangkit dan mendekap Oma penuh kesedihan.
"Vania cape, Oma." ucap Vania.

"Oma ngerti sayang, kamu mau cerita?" tanya Oma penuh kehati-hatian.

Untuk kesekian kalinya, Vania merasakan sesak yang memenuhi kalbu. "Vania cape, Oma." lirihnya.

"Kenapa sayang?" tanya Oma, sambil mengusap punggung cucunya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Gimana kalo dua tahun Oma, hanya di lakukan dengan sia-sia?" tanya Vania dengan nanar.

"Rugi sayang,"

"Vania juga merasakan hal yang seperti itu Oma. Tapi bagaimana, jika Tuhan menjauhkan dari orang yang selalu mencintai kita dengan tulus?"

"Ikhlas Nak,"

"Tapi Vania gak bisa Oma. Vania terlanjur cinta," Vania kembali menumpahkan air mata, hatinya tak kuat menahan beban masalah yang tengah menimpa.

"Ikhlasin yang udah pergi, insyaAllah akan di gantikan dengan yang lebih baik Sayang." Oma memeluk lalu mengeratkan pelukan itu.

"Ini Mama Van, kamu gapapa?" sapa Mama penuh kekhawatiran.

Vania menatapnya dalam waktu lama, lalu ia menjawab perlahan, "Aku, gapapa Mam."

"Papa, boleh aku tanya sesuatu?" ujar Vania.

"Boleh sayang, kenapa nak?" Papa mengusap rambut putrinya dengan kasih sayang yang begitu besar.

"Vino," ucap Vania menggantung.
"Papa kenal, Vino?"

Deg. Arfan merasakan jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, ia berucap dengan terbata-bata, "V-vino, yang mana, Nak?"

"Papa jangan pura-pura gak tau!" Vania mengepalkan tangan, amarah dan sakit kini bersatu padu dalam kalbu yang di susupi beribu duri.

"Vania tenang, kenapa?" tanya Mama.

"PAPA MAM!" teriak Vania.
"Papa jahat sama aku!!"

Mama segera memeluk Vania ; bermaksud menenangkan. Karena sadari awal, jari jemarinya telah mengepal hebat siap meninju.

"Papa, jahat kenapa sama Vania?" tanya Mama.

"Vino anak Papa kan?!"
"Vino Anggara! Jangan pura-pura gak tau Pa! Vania kecewa!"

Arfan menatap Vania dengan nanar, nama itu kembali terdengar setelah sekian lamanya ia menghindari.

"Iya, Van. Anak Papa." jawabnya.

Vania berdiri, lalu segera menderap Kaki untuk pergi. Namun sebelum itu, Papa segera mencekal dan mendekap Vania penuh kasih sayang yang tak terhingga.

"Maafin Papa. Kamu udah tau ya? Pasti kamu shock, papa gak tau kalo orang yang kamu suka Vino. Selama ini kamu cerita gak pernah bilang dia siapa, maaf selama ini nyembunyiin dari kamu. Papa sayang kamu nak."

Mama dan Oma menyusul lalu mendekapnya, "Maafin Mama juga sayang, maaf belum bisa jadi ibu yang baik buat Vania."

Vania terisak, hatinya sesak bak di ampit bebatuan. Ia menangis tiada henti, terpikirkan, apakah bisa hatinya kembali sembuh.

Jika tentang mengikhlaskan, Vania mampu, walaupun sangat sulit.

"Arfan, kita temui Adeline besok!" tegas Oma.

"A-adeline? Siapa Oma?" tanya Vania, terbata-bata, efek isakan tangis yang begitu menyesakkan dada.

"Ibunda Vino, Nak."

Dear Vino Anggara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang