02. Vania Family

44 12 6
                                    

Praba di siang hari, tak nampak berseri dari pandangan Vania Clarissta. Hatinya kini terasa nyeri, mengharapkan secercah harapan dari seseorang yang tak akan kembali untuk menenangkan, atau bahkan mendengarkan keluh kesahnya.

Akara tak mampu hilang begitu saja, jiwa dan raga Vania merasa kesal dengan semua hal terkait Vino Anggara. Menyadari keberadaan pot bunga yang berada di nakas, ia ambil dan membantingnya sekuat tenaga.

BRUKK!!!

Vania telah menjadi seorang gadis yang ogha ;  wanita menderita cinta.
Ingin jentaka menjadi sosok yang hirap dari dunia. Akan tetapi, bagaimana? Apakah perlu, ia membenci waktu dan Vino, atau, berusaha mencari titik terang di balik kata perpisahan itu?

Bulir air mata yang di bendung, kini pecah menjadi sebuah tangisan yang tak karuan. Beberapa kali menghapus jejaknya, lalu meyakinkan diri untuk kuat. Beberapa kali juga ia gagal, saat mencoba untuk melakukannya.

Kini matanya menatap lekat sebuah coretan di sebuah memo pad, berisi sebuah list tempat yang ingin di kunjungi bersama-sama. Perlahan Vania merobeknya menjadi beberapa bagian, "Kamu, tidak akan berlaku lagi di hidupku. " ujarnya sambil melangkah kecil menuju tong sampah, membuang.

TOK! TOK! TOK!

"Vania!"
"Mama tunggu di meja makan ya, cepetan!" Suara panggilan terdengar, Vania segera menderap kaki untuk membuka pintu.

"Iya Mam, Vania langsung kesana." jawabnya, ia perlahan menuruni anak tangga dengan pikiran yang berkecamuk tak tau arah.

Setelah sampai, seluruh pasang mata menatapnya secara lekat hingga membuat Vania menunduk dan menarik kursi untuk segera duduk dan mengisi perut secepatnya.

"Vania, you okey?" Pertanyaan dari Papanya keluar dengan rasa cemas.

"I'm okey, Pap." imbuh Vania sambil memotong daging memakai pisau dan di tahan dengan garfu. Ia melahapnya dengan tatapan kosong, bahkan dalam keramaian ia tetap merasa kewala telah hirap dan menyelimuti.

Setelah agenda makan malam selesai, Vania segera beranjak pergi menuju sarang perlindungannya. Namun sebelum itu tangannya dicekal oleh sang Mama, ia mengajak Vania menonton bersama Movies terbaru.

"Kamu jarang nonton movie bareng kami lagi Van, sekarang wajib nonton ya!" racau sang Mama.

"Vania gak mood Mam." lirihnya.

Mama berdecak kesal saat mendengar respon Vania, "Pap, Mama gamau tau. Kita harus nonton bareng!"

"Ayo Van, lagian Movies kali ini seru kok, tentang keluarga cemara ya Mam?" bujuk Papa dengan manis.

Pada akhirnya Vania pasrah dan terduduk diam dengan camilan di tangan kirinya, otak tak mampu memberikan sinyal untuk menyerap alur cerita. Karna didalamnya, telah di sesaki oleh sosok yang telah pergi.

Meski begitu, dirinya merasakan sedikit kehangatan yang menjalar. Setidaknya kebersamaan dengan keluarga cukup membuatnya lupa tentang luka.

Dear Vino Anggara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang