"Aku hanya ingin menjadi lebih bahagia, apakah ini terlalu serakah?"
- Vino Anggara
.
.Indurasmi di malam hari begitu indah, ia memancarkan cahaya dan menerangi bumi di saat gelap gulita.
Tak hanya itu, indurasmi juga menjadi saksi, bahwa seorang wanita yang berada di bawah temaram lampu kini tengah terdiam memikirkan hal yang menghantui pikirannya berhari-hari.Desir angin menyapu rambutnya yang terurai dengan rapih. Ia perlahan mengambil beberapa helai, lalu menyelipkannya ke daun telinga.
Vania melirik alat pintarnya dengan nanar, ia tengah menunggu kehadiran seseorang. Ya, siapa lagi jika bukan Vino. Ia mengajaknya bertemu di dalam cafe ini. Jam telah menunjukkan pukul 20.40, Vania dengan rasa sedikit gelisah menekan tombol panggilan kepada Vino.
Tut.. Tut.. Tut...
Panggilan pertama tidak di jawab. Vania menelpon untuk kedua, ketiga, dan ke empat kalinya. Namun jawaban yang tertera tetap sama.
Ia bingung.
Hari ini merupakan malam terakhir ia berada di Bali, dan pukul 23.00 bus akan segera berangkat untuk pulang. Namun, Vania masih merasa begitu terdayuh oleh keadaan saat Vino memperlakukannya secara tidak wajar seperti itu, dan secara tiba-tiba ia datang lalu mengajaknya bertemu.
"Vin?" Vania memanggil, saat seorang lelaki berawakan tinggi berada di depannya dengan kejauhan 1m
"Maaf nunggu lama," jawabnya seraya mendudukan diri di kursi.
"Haha, iya gapapa Vin!"
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Vania masih dengan rasa yang sama.Vino meronggoh tas, lalu ia mengeluarkan amplop berwarna coklat. Vino segera menyodorkannya dengan rasa bimbang yang terus menyelimuti.
"Silahkan buka." tuturnya.
Merasa bingung. Vania hanya bisa menerima tanpa bertanya lebih lanjut tentang isi di dalam amplop coklat itu.
Tangannya secara lihai membuka lilitan tali yang melintari, lalu secara perlahan mengeluarkan sebuah kertas lusuh yang di lipat."Ini apa Vin?" tanya Vania, ia terus membukanya hingga kertas itu membentang.
"Kartu keluarga?" Vania merasa heran, ia terus membaca tanpa mengalihkan pandangan.
Saat nama kepala keluarga tertulis dengan jelas, Vania tercengang. Ia tetap berusaha untuk berpikir positif di era kalbu yang halai-balai.
"Arfan Geraldi, nama Ayah kamu kan, Van?" tanya Vino, ia menahan mata yang terasa memanas.
Vania mengangguk dengan perlahan, ia penasaran lalu bertanya, "kenapa?"
Mata kian memanas, Vino berdiri lalu menutup seluruh wajahnya dengan telapak tangan.
"Vin..?"
"Aku sakit Van," jawabnya seraya duduk dan menundukan kepala.
Sesak. Vania merasa sesak yang tak tertahankan, ia tidak menyukai fase saat Vino tidak baik-baik saja seperti ini. Walaupun, ia pernah menyakiti lebih dari pada apapun kepadanya.
"Sakit?" tanya Vania, ikut terdayuh oleh keadaan.
"Iya, sakit!" bentaknya, "aku sakit karena fakta, bahwa kamu yang menyebabkan hidup aku hancur!"
"Maksud kamu?" Kalbu tak dapat lagi menahan rasa sakit yang bergelojak, Vania kini berderai air mata dengan tiyasa.
"Kamu pernah mikir gak? Aku juga sakit Vin, karena keputusan kamu yang pergi tanpa alasan," ungkapnya penuh penekanan.
"Terus kamu bilang, aku penyebab semua kehancuran di hidup kamu?" jeda sebentar,"aku tanya, apa yang udah aku hancurin Vin?"
Vino ingin jentaka menjadi sosok yang dapat hirap kapan saja dari dunia. Pair jantungnya kini berdetak lebih kencang, prana pun tak dapat lagi di atur. Ia terisak di depan Vania.
Tidak ada lagi definisi laki-laki itu harus kuat, menurutnya itu sangat Toxic Masculin untuk masalah seberat ini. Melenggangkan kaki, ia segera meninggalkan Vania sendirian di sana. Pondasi pertahanan telah rubuh, Vino pikir ia akan menenangkan dirinya terlebih dahulu untuk sementara waktu.
"Kamu masih berani nanya itu Vania? Kamu tuh emang bego ya, bego banget. Aku gak nyangka pernah pacaran sama orang bego kaya kamu. Kartu keluarga itu kurang jelas? Kamu anggap dia orang yang berbeda? Kamu salah Van. Aku benci Van sama kamu."
Vania masih mematung mencoba mengerti apa maksud Vino, tapi tetap saja, ia tidak mengerti maksudnya apa.
"Kamu nyesel Vin..?"
"Aku sedih denger pernyataan itu. Aku izin pergi ya, aku juga nyesel udah lama-lama nunggu buat dengerin hal yang ga penting."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Vino Anggara ✔
Teen FictionSelamat membaca cerita Dear Vino Anggara: Vino Anggara & Vania Clarissta 🌺🌺🌺 Vino Anggara: Fakta yang telah mengiringku untuk membenci, dan menjauhimu. Vania Clarissta: Kita sudah terlanjur rusak untuk diperbaiki, sudah terlalu sakit untuk diobat...