03. An oddity

31 10 6
                                    

Apakah tak ada seorang pun yang menyadari? Bagaimana kerasnya diriku untuk tidak menangis.”

- Vania Clarissta

.
.

Sebuah bilik terbuka yang biasa menjadi sasaran paling empuk ketika bel istirahat berbunyi.

"Lo mau pesen apa?" Berjalan mendekati stan kantin, Aleta bertanya kepada Vania.

"Burger, sama cumi bakar aja Al."

Aleta mengangguk. Pesanan pun ia sampaikan kepada Mang Apri selaku pemilik dagangan. Mereka berdua menunggu di depan.

"By the way, Van." Ditengah hiruk-pikuknya suasana, tiba-tiba Aleta membuka rasa penasaran yang tak tertahankan terkait suatu hal, "Ehm, mungkin terdengar sedikit resek ya," dehamnya "tapi kalo boleh tau, apa penyebab kalian putus?"

Vania terdiam saat pertanyaan masuk dan menusuk rulung hatinya. Kenyataannya, Vania pun merasa bingung dan sedih karena kepergian Vino yang begitu saja tanpa sebab. Di rasa tidak tau jawabannya, ia menjawab, "Gak tau Al."

Aleta langsung dibuat termenung oleh jawaban Vania, otaknya kembali mengingat rumor ketika Vino masih bersama dengan mantannya yang bernama Jessy. Ia meninggalkan Jessy, karena sebuah alasan. Akan tetapi mengapa, mengapa kali ini tanpa alasan yang jelas? Apakah Vino berniat menyakiti sahabatnya? Tidak akan Aleta biarkan jika benar begitu. Kini Aleta di landa rasa penasaran yang membuncah, memprediksi, Vino sedang menyembunyikan sesuatu dari Vania. Tetapi, apakah itu?

"Hei Kak!" Seseorang menepuk punggung Vania dan Aleta dari belakang, di ikuti oleh beberapa tepukan lagi. Mereka langsung ngeh, itu adalah anggota Cheerleader.

"Tumben datang barengan gini, " tanya Aleta, sambil menyantap puding strawberry dan coklat yang datang tiga menit lalu.

"Kita mah barengan terus, emangnya kalian!" Ini Arumi, anggota Cheerleader yang bertugas sebagai flyer karena tubuhnya yang tinggi, kecil, dan putih. Arumi juga pandai menjaga keseimbangan tubuh.

"Kalian apa?" tanya Vania.

"Kalian mah pisah mulu, kadang bareng, kadang kagak. Makanya jangan beda jurusan gitu, yang satu IPA yang satu IPS. Chuaks!" jawab Arumi.

"Yehh, lu! Gue tampol juga ya." timpal Aleta.

"Eh eh guys, besok harus pada semangat ya!" ucap Aleta menyemangati, mulutnya masih bergelut menyantap puding dengan sensasi nikmat karena perpaduanya yang terasa lembut dan manis.

"Iya pasti dong Al," jawab Arumi "eh btw, udah dua minggu gak ngeliat kebucinan ketua kita, kemana tuh pacarnya Van?" Arumi mengajukan pertanyaan, sedangkan Vania di buat berdiam diri saat Akara melintas dalam memorinya. Vania mengigit cumi bakar tanpa nafsu makan yang stabil, sadar pula akan kesalahan, belum menyebarluaskan perpisahannya dengan Vino Anggara.

"Yehh, lu mah kepo bet dah Rum!" celetuk Aleta, ia melemparkan sendok kecil  udingnya kepada Arumi.

"Jorok Al, iyuhh!" respon Arumi sambil mengelap rok abu-abunya dengan tisu basah.

Dalam diamnya Vania merasa tiyasa sepi, terpikirkan, untuk apa  menyembunyikan perpisahannya lebih lama lagi. Walau dalam hati ia merasa tak rela, merasa tak sudi jikalau posisinya dahulu tergantikan oleh wanita lain. Akan tetapi semuanya telah menjadi memori, Vania tidak memiliki hak apapun atas kehidupan dia seperti dahulu kala.

Menarik nafas lalu berucap dengan sendu, “Gue putus sama Vino, Rum.”

Dear Vino Anggara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang