5 - Terra and Thunder

6 2 0
                                    

Junior berjalan santai menuju bungalow-nya walaupun rintik hujan sudah akan berubah menjadi butiran-butiran yang lebih besar. Dia baru saja kembali dari bandara setelah mengantar Deo yang tiba-tiba harus pulang karena Suri, pacarnya, harus dilarikan ke rumah sakit.

Dari tempatnya, dia menyempatkan melihat bungalow di sebelah bungalow yang dia tempati, yang kemarin Deo bilang ditinggali perempuan cantik. Dia penasaran, karena sudah dua hari dia berada di resort ini, namun dia belum juga bertemu dengan tetangga sebelah bungalow-nya itu.

Bungalow berdinding putih, dengan dua kursi rotan di depannya dan dihiasi rimbun daun palem, sore itu pintunya terbuka. Itu yang Junior lihat dari kejauhan.

Oh, lagi di dalem orangnya. Batin Junior sambil masih memandang ke arah bungalow itu.

Sesaat sebelum masuk ke bungalow miliknya, Junior dikagetkan oleh suara gemuruh petir yang cukup memekakkan telinga. Yang lebih membuatnya kaget adalah teriakan seorang, terdengar seperti suara perempuan, yang dia yakini asalnya dari bungalow sebelah yang tadi pintunya dibiarkan terbuka oleh pemiliknya.

Awalnya Junior ingin mengacuhkan saja teriakan tadi. Namun Junior tidak bisa menahan langkahnya untuk tidak menghampiri bungalow sebelah, setelah penghuni bungalow itu kembali berteriak untuk kedua kalinya.

Junior melangkah panjang-panjang agak bergegas, tidak mempedulikan hujan yang turun semakin deras, cukup membuat rambutnya basah. Dia takut sesuatu buruk terjadi pada penghuni bungalow sebelah.

"Ya Tuhan! Terra!"

Di hadapannya, Junior melihat perempuan yang dia kenal belum lama ini. Postur tubuhnya, panjang rambutnya, alis tebalnya, dan sebuah bintik hitam kecil namun jelas terlihat di cuping kiri hidungnya yang menjadi ciri khas perempuan itu, yang membuat Junior yakin bahwa perempuan yang sedang duduk bersimpuh di lantai itu adalah Terra. Ya, Terra yang dia kenal.

Terra terisak, sekujur tubuhnya bergetar hebat, wajahnya terlihat pucat saat Junior mendekatinya, berjongkok di hadapan Terra yang masih menutup kedua telinganya sejak tadi.

"Terra, you okay?" Pertanyaan konyol itu saja yang bisa keluar dari mulut Junior, yang tentu saja dijawab dengan gelengan tegas oleh Terra.

Terra kembali berteriak saat petir bergemuruh lagi, walaupun lebih pelan dari sebelumnya. Perempuan itu mendekap tubuh Junior begitu erat. Junior yang tidak siap dengan gerakan tiba-tiba dari Terra, kini terduduk bersama perempuan itu.

"It's okay. Just a thunder," ucap Junior menenangkan. Dia rengkuh tubuh Terra ke dalam pelukannya untuk memberi rasa aman baginya. Dia menepuk-nepuk punggung perempuan itu agar Terra lebih tenang. Masa bodoh dengan jantungnya yang detaknya kini bisa dia dengar dan mungkin Terra juga dengar, asalkan Terra tidak ketakutan lagi.

Mereka masih mempertahankan posisi itu cukup lama. Di dalam hati masing-masing, satu berharap gemuruh petir segera mereda, satu lainnya berharap momen itu berlangsung agak sedikit lebih lama.

-----

"Lo yakin udah nggak apa-apa?" Tanya Junior sembari menyodorkan segelas teh yang baru saja dia seduh kepada Terra yang sedang duduk di atas kasur queen size bersprei putih.

"As long as the thunder has stopped," jawab Terra sambil menyesap teh yang Junior berikan. Terra mengaduh setelahnya karena cairan dalam mug putih di dalamnya ternyata lebih panas dari yang dia kira.

"Oh, careful, Terr. Masih panas. Sini," Junior lalu duduk di sebelah Terra, mengambil mug di tangannya dan meniup-niup uap panas dari teh itu agar Terra dapat segera menyesapnya kembali.

Junior kembali menyodorkan teh tadi kepada Terra setelah cukup yakin tehnya tidak terlalu panas untuk Terra minum.

"Thanks, Jun," ucap Terra singkat. Dia kembali meniup cairan di dalam mug sebelum meminumnya, tidak ingin kembali membakar lidahnya.

Junior tersenyum melihat Terra. "Lo setakut itu sama petir?"

"Yeah, been a while. I missed the timing. Biasanya kalo udah mendung hampir hujan gue udah siap pakai headphone. Tuh," jawab Terra sambil menunjuk sebuah headphone yang tergeletak di atas koper, tanda memang tadi Terra sudah menyiapkan.

"I was just about to close the door, and then the thunder suddenly roared."

"Phobia?"

"More like trauma."

Hening beberapa saat setelah Terra menjawab pertanyaan terakhir dari Junior. Perempuan itu masih menunduk memandangi karpet abu-abu yang menjadi alas lantai bungalow-nya. Junior tidak berani bertanya lebih jauh.

"Lo mau ke mana?" Tanya Junior saat Terra beranjak dari duduknya, lalu berjalan ke arah toilet. Terra bergeming tidak menjawabnya, terus berjalan ke toilet dengan mug yang masih berada d tangan kanannya.

"Nih, keringin rambut lo. Nanti pusing," Terra mengangsurkan handuk putih kecil kepada Junior karena melihat rambut lelaki itu basah.

Junior yang keheranan, menerima handuk tadi dan melakukan apa yang Terra suruh. Kata-kata Terra seperti mantra sihir baginya.

"Ini rahasia antara lo sama gue aja, ya," pinta Terra. Dia masih enggan menatap Junior.

"Okay. I'm good at keeping secrets."

Terra tersenyum mendengar jawaban Junior.

"Gue nggak tau lo tetangga sebelah. Kalo tau, tiap ke butik Pieter kan bisa bareng aja," Junior mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tidak mau Terra merasa tidak nyaman dengan apa yang tadi terjadi.

"Me neither. Gue waktu itu cuma ketemu sama temen lo aja di luar."

"Oh, Deo. Iya, kemarin dia sempet cerita katanya bungalow sebelah ada yang nempatin akhirnya. Cewek, cantik. Gue sempet ngira dia halu, pagi-pagi udah liat cewek cantik," ungkap Junior mengingat percakapannya dengan Deo kemarin pagi.

"So you work here? Or you owned this resort?" selidik Junior. Tentu dia curiga, karena Terra menempati bungalow yang merupakan suite room di resort ini alih-alih kamar biasa.

Terra tersenyum menanggapi pertanyaan Junior. "I work here. As an assistant managing director."

"Wow. At this young age? Keren."

"Nggak sekeren itu, Jun. It's just my luck."

"Beruntung itu juga termasuk keren, Terr."

Terra kini tertawa. Ada kelegaan di hati Junior.

"It's still raining outside," ucap Junior sambil mendongakkan kepala, seperti berusaha mendengar tetesan hujan yang masih menghujam atap bungalow walau tidak sederas tadi. "Gue nggak papa kan nunggu di kamar lo dulu? Or maybe you want me to leave?"

"I'm good to the first option. Can you stay here for a while? Just in case," Terra memberanikan diri menatap lelaki di sebelahnya. Terra memegang lebih erat mug di tangannya untuk menahan gugupnya saat manik matanya menatap iris coklat muda milik Junior yang selalu nampak berbinar.

"Sure. Sure. Of course, Terr. It's my pleasure."

"Lo mau makan apa? Gue pesenin room service," tanya Terra saat dia kembali beranjak dari tempat tidur menuju nakas dengan telepon di atasnya.

"Kayaknya mie kuah panas pake telor sama irisan rawit enak deh hujan-hujan gini."

Truveil; Menemukanmu | Johnny SuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang