"Bri! Jangan jauh-jauh main bolanya!" teriak seorang wanita paruh baya yang sedang berlari mengejar seorang anak perempuan yang Junior perkirakan usianya mungkin tidak lebih dari empat tahun. Dan wanita yang sedang mengejarnya mungkin nenek si anak.
Junior sore ini memilih menghabiskan waktu untuk berjogging sebentar di sebuah pantai kecil yang cukup sepi tidak jauh dari villanya. Melihat adegan kejar-kejaran di depannya, Junior ikut berlari ke arah anak perempuan bernama Bri tadi, karena si anak mulai berlari mendekati air.
"Gotcha!" kata Junior begitu mendapatkan gadis kecil tadi dalam pelukannya. "Anak cantik mau ke mana?" tanya Junior sambil berjongkok di depan gadis kecil itu. Tidak ada ketakutan di wajah gadis kecil itu melihat Junior yang tergolong orang asing baginya.
"Bola Bri masuk air, Uncle," jawab gadis kecil tadi dengan artikulasi cukup jelas untuk anak seumurannya. Tidak jauh dari mereka, nenek Bri memelankan langkah sambil mengatur napasnya saat tahu Bri sudah di tangan yang aman, membiarkan keduanya berinteraksi.
"Anak cantik tunggu di sini aja, ya. I'll get the ball for you. Bahaya kalau anak kecil masuk ke air sendirian, okay?" perintah Junior dituruti oleh gadis mungil itu. Dia lalu berlari menuju pantai, tidak peduli running shoes nya basah terkena air laut.
Saat Junior kembali dengan bola di tangannya, Bri sudah bersama neneknya.
"Here's your ball, Princess," ucap Junior sambil menyodorkan bola milik Bri.
"Thank you, Uncle."
"Terima kasih banyak ya, Nak. Maaf bikin sepatunya basah," ucap nenek si gadis kecil.
"Nggak papa kok, Tante. Yang penting Princess Cantik aman," jawab Junior sambil mencubit pelan pipi Bri. "Next time, kalau bolanya masuk ke air lagi, tungguin nenek atau kakek atau mama papa atau orang dewasa ngambilin, ya," pesan Junior kepada gadis kecil yang mengingatkannya kepada Terra. Si gadis mengangguk mematuhi pesan Junior.
"Say bye to Uncle, Bri. We need to leave."
"Bye, Uncle," pamit gadis kecil itu dibarengi dengan anggukan kepala dari neneknya. Junior membalasnya dengan lambaian tangan.
-----
"Kamu kayaknya harus cari pacar deh, Mik," celetuk Terra saat pertama kali dia masuk ke dalam rumah mungil yang ditinggali Mika di daerah Canggu malam itu. Rumah berdesain minimalis itu sebenarnya terlihat sangat asri di luar. Walau terletak di dalam sebuah cluster, namun halaman depannya dinaungi pohon mangga yang cukup rimbun. Namun begitu masuk ke dalam, kanvas dan peralatan melukis milik si empunya rumah berserakan memenuhi ruang tamu dan ruang tengahnya, tidak menyisakan ruang untuk sekedar berjalan.
"Kalau cuma buat beberes sih tinggal panggil jasa bersih-bersih aja. Ngapain kamu suruh aku cari pacar?" jawab Mika sambil merapikan beberapa kanvas yang tergeletak di lantai tak beraturan.
"Nah itu tau, kenapa nggak manggil jasa bersih-bersih? Tapi kalau kamu punya pacar kan jadi ada yang ngingetin makan, potong rambut. Dan kamu jadi malu aja kalau rumah kamu berantakan kayak gini."
"Nggak ada waktu cari pacar," jawab Mika singkat sambil menaruh dua kanvas yang tergeletak di lantai ke sebuah meja tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Mau aku cariin?" tawar Terra sambil membersihkan sofa berwarna abu-abu tua di ruang tengah sebelum mendudukinya.
"Nggak usah repot-repot, Terr. Kalau aku mau, dulu pas kita mau dijodohin udah aku iyain aja rencana Eyang sama Mama Papa," beber Mika.
Terra dan Mika memang beberapa tahun lalu sempat akan dijodohkan oleh eyang Wijaya dan mama papa Mika yang memang sudah bermitra bisnis cukup lama. Namun keduanya menolak kala itu.
"Terus kenapa kamu nolak juga waktu itu? Karena aku punya anak?" canda Terra. Ya, Terra dan Mika memang sudah sedekat itu, sampai-sampai rencana perjodohan mereka yang batalpun terkadang jadi bahan candaan mereka. Hanya sedekat itu, tidak pernah lebih.
"Brielle bukan anak kamu, Terr. Brielle anaknya Mireya dan si brengsek itu," tegas Mika.
"Sampai kapanpun Brielle anak aku, Mik. Aku wali sahnya di mata hukum. Ini bentuk tanggung jawabku sebagai sahabatnya Mireya. Tolong hormatin keputusanku. It's been four years and you still the same."
"Sahabat macam apa yang selingkuh sama pacar sahabatnya sendiri?! Mereka yang berbuat, kenapa kamu yang harus tanggung jawab? Masih ada Reksa, Terr. Biar dia yang tanggungjawab, bukan kamu. Adopted their child was too much!" suara Mika mulai meninggi membuat Terra sedikit terperangah. Terra tidak menyangka niatnya bercanda dengan membawa nama Brielle akan menjadi bahasan yang serumit ini dengan Mika.
"Terr, I'm sorry. Aku nggak bermaksud ngebentak kamu," Mika kini duduk di sebelah Terra, menahan tangan perempuan itu untuk tetap berada di sampingnya saat menyadari ternyata ucapannya cukup membuat raut wajah Terra berubah murung.
"Aku nggak tau kamu masih segitu bencinya sama Mireya dan Reksa, Mik. Well, kalau untuk mereka berdua, itu hak kamu mau maafin atau nggak. Tapi Brielle nggak salah apa-apa, Mik. Kenapa sekalipun kamu nggak pernah mau nemuin dia?"
"Mik, Brielle sendirian, dia nggak punya siapa-siapa, sama kayak aku. I was running away when Mireya struggled alone with her pregnancy and Reksa's family. I should be beside her buat support dia waktu itu, just like what she did when Mama and Papa passed away. Kalau aku waktu itu maafin Mireya, mungkin sekarang Mireya masih ada di dunia ini," suara Terra mulai bergetar.
"Stop blaming yourself, Terr. Kamu berhak marah, kamu berhak buat nggak maafin mereka berdua. They betrayed you."
"Tapi aku memilih untuk memaafkan Mireya, Mika. Kamu juga harus maafin dia supaya dia tenang di surga," ucap Terra sambil berdiri dari duduknya.
"Terr..." Mika lagi-lagi meraih pergelangan tangan Terra, menahannya untuk tetap tinggal namun kali ini Terra menepisnya dan meninggalkan Mika dalam diamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truveil; Menemukanmu | Johnny Suh
Fanfiction"Lo beneran nggak inget gue?" Ini kali kedua Junior menanyakan hal yang sama pada Terra. Namun dari mata perempuan di hadapannya, Junior yakin perempuan itu tidak mengingatnya. Junior kecewa lagi. Terra tersenyum getir, memory-nya menyerah mengingat...