22^ Ingkar

8 0 0
                                    

Now playing| Tulus - Langit Abu-abu

Selamat membaca :)

Budayakan vote sebelum membaca dan komentar setelah selesai membaca.

***

BAGIAN DUA PULUH DUA || INGKAR

Kau akan diingat seseorang karena dua hal; diingat karena kau orang yang berarti, atau diingat karena kau pernah melukai. Jadi hati-hati!

***

Di samping gundukan pasir yang telah terselimuti rumput yang tumbuh rapat itu Raka berdiri lesu. Matanya menatap nanar pada sebongkah batu marmer hitam yang teronggok di ujung utara gundukan tanah itu. Sofia. Begitu nama indah yang terukir di atasnya.

Ujung bibir Raka terangkat, membentuk sebuah cibiran tajam yang bahkan ia sendiri tak tau pasti kemana dan kepada siapa ditunjukan, kepada dirinya sendiri atau kepada nasib yang sekarang seakan tertawa terbahak-bahak menertawakan kepedihannya, namun sepertinya lebih tertuju pada nama terakhir yang terukir di atas batu indah itu.

Beberapa tetes darah masih mengalir dari tangan kirinya, mungkin karena beberapa kepingan benda bening yang tadi jadi samsak kemarahannya masih tertinggal dan membuat sel-sel darah putihnya belum bekerja sempurna. Beberapa titik dedaunan rumput memerah tertutup cairan kental itu. Dab si empunya pun masih tak peduli dengan keadaannya sendiri.

"Maaf, Raka ngotorin tempat istirahat mama..." lirih Raka setelah jatuh bertelut di samping makam sang bunda. Ia melepas jaket yang ia gunakan dan ia belitkan asal di atas lukanya.

"Raka sayang mama, Raka kangen... kenapa mama nggak ajak Raka?" setiap kaya yang keluar dari bibir pemuda tampan itu terdengar sangat pilu, kalau saja ia tak ingat ia adalah seorang laki-laki dan ia tak pernah memegang janji pada sang ibu untuk tidak lagi mengeluarkan isakan dan air mata, mungkin saat ini Raka sudah menangis tersedu-sedu.

"Tolong kasih tau apa yang harus Raka lakuin sekarang!" ucap Raka sedikit membentak, seakan segalanya memang sudah menghabiskan kekuatannya.

Raka menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan kedua tangannya yang disangga lututnya setelah sebelumnya menatap lamgit yang sudah beranjak gelap di atasnya seakan menantangnya untuk menelan dan membawanya moksa, bersatu dengan Sang Pencipta bersama seluruh raganya.

***

Semua mata tertuju pada gadis yang melangkah dengan begitu anggunnya di atas karpet merah yang tergelar membelah sebuah area yang telah ditata dengan sangat manis, gadis cantik yang terlihat seperti putri rajanyang sedang menyongsong pangeran tampan yang kini sedang berdiri di atas panggung kecil dengan senyum sumringah yang terus menghiasi wajahnya. Nampaknya tak satupun dari sekelompok manusia itu yang menyadari jika wajah sang putri yang mempesona merekah itu tidak benar-benar dalam keadaan berseri.

Dira melangkah pongah dengan dagu lancipnya yang terangkat seolah ingin menunjukan pada pemuda yang sedang ditatapnya tajam bahwa ia tak gentar dengan semua yang akan didapatinya nanti. Sama sekali ia tidah peduli pada orang-orang yang menatapnya. Suara riuh musik penyambutan pun seakan tak ia dengar.

Keduanya telah bersanding, Dira dan Davian  membuat semua tamu undangan makin berdecak kagum karena keserasian mereka, seorang laki-laki yang sangat tampan menyanding gadis yang sangat cantik. Namun Dira masih belum berkelit dari tatapannya pada gerbang besar yang berada jauh di hadapannya, membayangkan kisah seperti drama yang pernah ia lihat akan terjadi juga padanya. Pangerannya yang sesungguhnya datang dengan gagahnya dan membawanya pergi dari tempat yang tak lebih dari penjara baginya itu.

Trilogi[1] Pelangi di Malam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang