23^ Hukum Tabur Tuai

13 0 0
                                    

Now playing| Putri Ariani - Tak Mampu Lupa

Selamat membaca :)

Budayakan vote sebelum membaca dan komentar setelah selesai membaca.

***

BAGIAN DUA PULUH TIGA || HUKUM TABUR TUAI

Saat sebuah cerita berhenti yang selesai hanyalah alur, seseorang dan momennya.

***

Raka menggeliat melonggarkan otot-ototnya saat menyadari hari sudah berganti karena tusukan cahaya matahari pagi yang memaksa kedua kelopak matanya untuk terbuka. Diliriknya jam dinding di kamar bercat abu-abu itu, bukan kamarnya, namun sangat tidak asing baginya karena bukan hanya sekali dua kali ia menempati kamar itu, salah satu ruangan yang ada di rumah Rangga. Rumah yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan istananya sendiri karena rumah itu hanya dihuni oleh Rangga seorang diri ditambah beberapa orang asisten rumah tangga. Kurang sepuluh menit menuju pukul enam pagi.

Dengan gerakan cepat, Raka menyambar handuk yang tergantung di depan almari kayu yang berada di sudut kamar. Bertekat memulai lagi harinya seperti biasa, tak ingin bertambah runyam hidupnya dengan menelantarkan sekolahnya yang hanya tinggal hitungan hari sampai ia menanggalkan seragam, peralatan sekolah dan buku-buku yang sengaja ia rangkap untuk keadaan menyebalkan dalam hidupnya seperti saat ini, keadaan yang sebetulnya sudah sangat sering ia alami.

***

"Iya mamaku sayang, Aldi pasti belajar yang bener!"

Jelas sekali Raka mendengar jawaban Rangga yang sedang bercakap-cakap dengan ibunya via telepon. Aldi yang sedang asik menyantap makan paginya terlihat sangat repot dengan ponsel yang ia jepit dengan bahu dan kepala yang ia miringkan penuh.

Itulah bedanya dengan Aldi, meskipun Aldi juga memiliki orangtua yang berkesibukan
super padat, sama sekali ia tak kekurangan perhatian. Setiap hari ayah atau ibunya pasti menanyakan kehidupannya. Tak sekalipun Aldi dipaksa untuk menjadi seperti orangtuanya.

Pikiran Raka melayang, ia ingat betul cita-cita masa kecilnya saat ada di bangku taman kanak-kanak dan ibu gurunya bertanya ingin menjadi apa ia di masa depan. Raka kecil selalu menjawab ingin menjadi seorang pilot agar dapat keliling dunia, mengendarai kendaraan yang begitu keren yang tak harus direpotkan dengan kamacetan dan tampak gagah dengan topi serta seragam khas profesi itu. Namun khayalannya itu selalu menguap begitu saja saat ia menceritakan semuanya pada sang ayah yang pasti dengan tegas menyuruhnya untuk menjadi seorang yang berdasi, memimpin perusahaan.

"Ka, lo mau sekolah?" Tanya Aldi yang baru saja menyadari keberadaan Raka yang berdiri di balik tubuhnya dengan seragam lengkap walaupun tetap berantakan. Kemeja yang hanya dimasukkan separuh di bagian depan saja sementara bagian belakangnya ia biarkan berkibar, dengan dua kancing teratas tidak terkait membuat t-shirt rangkapnya terpampang, dasi yang hanya asal masuk dari kepalanya, lengkap dengan blezer yang hanya tergantung asal di bahu kirinya.

"Lo pikir gue pake seragam gini mau mangkal?" jawab Raka asal sambil mengambil nasi goreng yang menjadi menu sarapan hari ini. Sedikit kerepotan karena hanya tangan kanannya yang berfungsi normal karena tangan kirinya tak leluasa bergerak akibat lukanya.

"Kali... orang lo title doang pake seragam, cara pake lo nggak kalah sama preman pasar," Aldi tak ambil pusing dengan jawaban Raka, sekaligus ia tak mau membantu Raka yang tampak kesusahan. Ia masih dongkol dengan tindakan Raka yang ia anggap sangat labil sampai melukai dirinya sendiri, biar saja sekarang Raka merasakan akibatnya sendiri.

Trilogi[1] Pelangi di Malam HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang