Now playing| Langit Sore - Rumit
Selamat membaca :)
Budayakan vote sebelum membaca dan komentar setelah selesai membaca.
***
BAGIAN SATU || BATU KARANG
Semisal aku harus pergi darimu
Itupun ragaku, tidak...
Untuk hatiku.***
Kabut tipis masih betah saja menyelimuti pagi kota Yogyakarta hari ini. Dedaunan dari berbagai macam pohon yang tumbuh subur di tepi koridor SMA Trisakti masih ditenggeri rintikan air, mungkin embun pagi yang begitu dingin yang bercampur dengan sisa hujan semalam.
Burung-burung ikut bernyanyi riang mengikuti irama gerakan si pemilik. Senyum tipis yang terukir indah di bibirnya menandakan ia siap mengawali harinya. Menyambut segala hal baru yang akan datang.
"Dira!!!" Koar sebuah suara yang tak asing lagi untuk gadis itu. Suara yang selalu melafalkan namanya dengan nada khusus.
Gadis yang disapa Dira tadi mendengus pasrah. Tanpa niat ia berbalik menanggapi panggilannya.
"Ada apa bu?" Tanya Dira yang nampak jelas ogah-ogahan.
"Masih bisa tanya 'ada apa' kamu?"
Bu Maria, guru Bimbingan Konseling kelas X yang selalu "perhatian" pada muridnya yang satu ini. Guru yang dalam beberapa bulan saja mampu membuat nama gadis ini terkenal seantero sekolah. Siapa yang tak kenal dengan Anindira Maheswari Pradipta? Gadis cantik, putri keluarga Pradipta, salah satu keluarga terpandang di kota ini.
"Malu bertanya sesat di jalan bu!" Jawab Dira enteng.
"Telinga kamu itu sudah tidak berfungsi lagi ya???"
"Kalau sudah tidak berfungsi, saya tidak akan berdiri di sini melayani panggilan ibu!"
Sadar berdebat dengan murid yang secara tidak langsung sudah mengangkatnya menjadi manager pribadi ini, Bu Maria lebih memilih untuk mengutarakan maksudnya.
"Di sekolah ini, SEMUA murid harus memakai rok minimal di bawah lutut! Apa-apaan kamu ini pakai rok cuma sejengkal? Kurang bahan?"
"Kalo panjang-panjang kenapa nggak sekalian pakai sarung aja bu?"
"Lama-lama alasan kamu semakin membuat saya emosi! Saya tidak mau tahu besok kamu harus sudah berpakaian selayaknya!!!"
"Iya bu... Iyaaa!!!"
Sudah bosan mendengar khotbah Bu Maria, Dira kembali berjalan menuju kelasnya. Tetap tanpa beban.
Gadis yang spesial. Mungkin saat pertama kali kita mengenalnya ia terkesan angkuh, manja dan sombong. Tak heran karena latar belakang keluarganya yang membuatnya mendapatkan segala hal yang ia inginkan menciptakan kepribadiannya menjadi seperti sekarang. Tetapi bukankah ada pepatah yang mengatakan 'dalamnya laut bisa diukur, namun dalamnya hati siapa yang tahu?'
***
Beberapa buah seri komik Jepang masih berceceran di atas meja yang ada di hadapan seorang laki-laki tampan yang kini sedang terhanyut oleh alunan musik dari ponsel hitam yang tersambung dengan headset putih ke telinganya. Sebuah bola basket menjadi pijakan kaki kanannya.
Komik, musik dan basket. Warna pokok yang selalu menghiasi hari-hari pemuda jangkung ini.
"Raka!!!" Pekik seorang laki-laki berpostur tinggi kurus itu sambil menggebrak meja sahabatnya yang sudah terlelap karena bosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trilogi[1] Pelangi di Malam Hari
Dla nastolatkówCover by: @Pinterest [Mereka terlalu percaya dengan kalimat setelah hujan akan datang pelangi. Sampai mereka lupa jika hujan bisa datang di malam hari. Karena sesering apapun hujan turun di malam hari ia tidak akan pernah berjanji untuk mendatangkan...