WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*
Semua cast hasil meminjam dari web dan pinterest.
*
Prank!
Pecahan guci dan barang-barang lainnya menghiasi lantai kilap rumah kami malam itu.
Aku menyembunyikan diri di balik daun pintu. Tangan imut kecil milikku mencengkeram tepian pintu.
Melihat papa dan mama bertengkar dengan sangat hebat. Aku yang masih berumur enam tahun kala itu, hanya bisa menyaksikan.
Papa membentak, menampar dan melemparkan barang-barang. Amarahnya terus bergejolak, panas dan sangat mengerikan.
Lalu, tatapan itu tajam melihat ke arahku. Entah apa yang papa lontarkan malam itu. Namun, dari tunjukkan tangannya yang mengarah padaku, seperti ada hal yang ingin diluapkan.
Cacian dan makian, terlontar sangat jelas dan terekam di ingatan. Membekas dalam, menghunjam jiwa yang tidak paham apa-apa.
Setelah pertengkaran itu papa pergi, tidak pernah kembali. Harum tubuhnya tidak lagi tercium, begitu pula jejak-jejak bayangan yang perlahan memudar. Menghilang bersama badan yang tidak kunjung datang, walau terkadang namanya masih sering tersebut dalam kabut rindu tanpa tepian temu.
Bekas caciannya masih sangat perih menghunjam. Nestapa yang ditinggalkan tidak pernah menghilang.
Luka yang kian menyakitkan, akankah menjadi bumerang di masa mendatang?
Satu air lolos begitu saja, saat angin malam mampu membuka tabir kenangan kelam. Mengingat masa-masa kecil yang menyakitkan. Dunia indah masa kecilku berubah, menjadi cerita suram yang menyakiti sukma.
Aku bangkit dari atas kasur dan berjalan ke bingkai jendela. Mata memandang ke arah malam yang dihiasi temaram cahaya kekuningan.
Hanya ada rembulan redup di atas sana, sepi tanpa germerlap gemintang yang menemaninya. Kenapa? Hanya malam bagaikan teman yang selalu setia menghadapi semua lara?
Satu tangan meraba bingkai jendela. Mencari sesuatu yang sering kuselipkan di sana.
Lantas hati akan bertanya tentang hal yang sama saja.
Mama, papa. Apakah Binar ini ada harganya bagi kalian berdua?
Terkadang aku ingin mencaci semesta. Tak adil rasanya jika hanya aku yang terluka. Kenapa hanya aku yang merasa hampa?
Mama, papa, kutitipkan rindu bersama hening malam yang tercipta.
Kita pernah bersama, walau gemuruh pertengkaran yang menjadi hiasan hari-hari kita. Mengapa suasana itu lebih menyenangkan dibandingkan kesunyian?
Kupandangi bulan yang kian meredup di telan malam. Katanya kehidupan itu berputar, seperti malam yang akan menyingsing fajar.
Pun siang yang terbenam senja dan berganti malam.
Lantas mengapa dalam hidupku hanya ada malam yang begitu panjang? Gelap tanpa gemintang, bahkan sering kali dihiasi badai dan juga guntur yang menyambar.
Tuhan, apakah aku dihadirkan hanya untuk merasakan kesedihan yang berkepanjangan?
Semesta menghukumku untuk sebuah derita tanpa jeda. Bahkan apa itu bahagia? Aku hanya mendengar namanya saja.
Kenapa aku harus dilahirkan jika untuk menanggung beban yang tidak kumengerti dari mana asalnya?
Pandangan teralih saat ujung jari terluka oleh kertas yang kupegang. Setitik darah keluar dari jari yang terluka.
Perlahan aku membuka bungkusan itu, melihat benda tipis dan tajam itu dengan lekat.
Lalu kubuat irisan demi irisan di pergelangan tangan. Menikmati rasa perih gores kenangan kelam yang kembali terputar.
Aliran darah mulai menghiasi kulit putih pucatku. Kutekan lukanya agar darah terus keluar. Membiarkan tetesan itu membawa pergi rasa sakitku.
Karena yang pernah tergores di hati, lebih nyeri dari pada irisan silet ini.
Perlahan aku terisak, pelan dan tertahan. Lalu menjadi tangisan yang kian dalam saat beribu pertanyaan mengapa terlintas dalam benak.
Kenapa? Sakit dari goresan silet ini tidak bisa menandingi sakit dari goresan tak acuhnya mama?
Mengapa mama dan papa mengabaikanku? Mengapa sanak saudara menjauhiku? Mengapa semesta amat kejam mempermainkanku?
Mama, papa, Binar terluka. Datang sekali saja dan obati goresan di tangan Binar. Bisakah?
Kutumpuhkan kepala di bingkai jendela. Menikmati setiap sayatan yang terasa semakin menyakitkan, perih bubuhan dunia menabur duri.
Bukan, bukan di pergelangan tangan yang kugoreskan silet. Melainkan di hati dan jiwa yang terabaikan. Tak diacuhkan dan dibiarkan menghadapi segalanya sendiri.
Entah itu duri dalam hidup ini, pun lubang yang menyesatkan jalan yang kulalui.
Mama, papa, Binar masih di sini. Binar mohon menolehlah ke arah Binar sekali saja. Binar hanya ingin merasakan dilihat sekali saja.
Bisakah?
*
Peluk aku sekali saja, cium aku sekali saja. Sekali saja, Ma. Itu semua cukup untuk membasuh segala luka yang kurasa. Mungkin.
.
.
.
Binar Sunniva
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta, Kala Fajar Menyapa
RandomBroken home, apa yang terlintas jika kalimat itu yang disebutkan? Rumah tangga yang berantakan dan juga pertengkaran, perceraian atau yang lainnya? Broken home, bukan hanya sekadar perpisahan dua insan yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan. ...