Lima

41 6 2
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*
Semua cast hasil meminjam dari web dan pinterest.
*

"Binar!"

Aku menolehkan wajah saat seseorang memanggilkan nama.

Mila mendekat, berjalan dengan seorang pria yang tidak kuketahui.

"Kenalin, ini Andre. Dia sepupu aku," ucapnya memperkenalkan lelaki di sebelahnya.

Kupandangi wajah itu, lalu menggulum senyum tipis saat tangan kekar itu terulur.

Tidak terlalu peduli, aku kembali sibuk memainkan ponsel di genggaman.

"Binar, ntar malam party, yuk! Biar Andre yang traktirin kita."

Aku memainkan bibir, berpikir sejenak. Lantas mengiyakan begitu saja. Apa yang bisa kulakukan lagi selain mendatangi kelab malam?

Mengemis dama pada wanita yang tidak pernah menolehkan wajahnya?

Haha! Kenapa naif sekali diri ini. Selain memarahiku, memang apa yang bisa dilakukannya?

"Jam 7 malam, ya. Aku jemput di rumah," sambung Mila.

Aku hanya mengancungkan jempol, lantas mereka berpindah. Berjalan bersisian entah ke mana. Peduli apa?

***

Tepat jam tujuh Mila menjemputku bersama lelaki itu. Entah kenapa Mila membawa lelaki ke lingkup pertemanan ini.

Mendatangi kelab yang berbeda, kali ini lebih besar dan lebih mewah. Tak heran, keluarga Mila adalah pengusaha mebel terbesar di kota. Ayahnya, menikah lagi dengan wanita muda.

Lucu memang, saat lelaki telah memiliki harta melimpah. Satu wanita tidak cukup mendampinginya.

Jangankan memiliki harta berlimpah, terkadang yang biasa-biasa saja pun sama saja tingkahnya. Entahlah, lelaki semua sama saja. 

Di saat wanita mengharapkan cinta seutuhnya dari seorang pria. Namun, kama adalah alasan mengapa para pria menikahi wanita yang lainnya.

Suara dentuman dan kerlap-kerlip lampu disko mengiringi. Disk Jokey lihai memainkan musik yang memekakkan telinga. Seru dengan lingkaran dosa hidup ini.

Aku berjoget di antara puluhan lelaki dan wanita. Sesekali mulut menenggak bir yang diberikan Delia.

Asyik dengan dunia yang begitu indah. Sampai pikiranmu hampa, melayang di bawah pengaruh minuman.

Sedikit terengah aku mengempaskan badan di sofa. Sekadar menetralkan degup jantung di dalam dada. Lelah sehabis berjoget di perkumpulan sana.

Kuambil rokok dan membakarnya, menyesap dengan embusan asap mengarah ke udara.

"Gimana? Kelabnya seru, kan?" Aku menoleh, hanya mengangguk-angguk pelan. Perlahan mata menyayup, kepala semakin berat. Berputar-putar, dan aku pun mulai tertawa.

Girang dan semakin gila ketika DJ memainkan musik yang semakin membakar gelora di dalam jiwa. Berteriak, berjoget bersama siapa saja di sana. Menghabiskan malam-malam penuh kebisingan dan nikmatnya dunia penuh dosa.

***

Berulang kali mata mengerjap, mencoba membuka mata. Pusing yang terasa.

Aku menghela napas, mencoba menetralkan pandangan. Berdiam beberapa saat, lalu kembali mengembangkan kelopak mata.

Kamar luas dengan cat putih yang mendominasi. Aku menutupi dahi dengan lengan.

Detik kemudian terduduk dan tersadar, ini bukan kamarku ataupun Mila. Terlebih lagi delia.

Lalu ini di mana? Kuedarkan pandangan, terkejut tak karuan saat melihat bercak darah pada ranjang. Tersadar, kini badanku polos tanpa sehelai benang.

Aku menggeleng, mencoba mengingat sebelum aku bisa berada di sini.

Nyeri, pusing yang mendera kian parah. 

Enggak! Ini mggak boleh terjadi. Mila, ya, Mila pasti tahu.

Aku menarik tas yang ada di bawah kasur. Menghubungi nomor Mila, tetapi nihil.

Kupunguti pakain yang berserakan, lantas berlalu ke kamar mandi. Kuabaikan rasa perih dan pusing, mencoba mencari Mila dan Delia.

Mereka harus memberikan alasan atas kejadian semalam. Dan kau lelaki bajingan, lihat saja apa yang akan aku balaskan!

Kudatangi rumah Delia dan Mila, mereka tidak ada. Apakah mereka menghindar? 

Dasar bajingan!

Kucoba menelpon kembali, tetap saja panggilan tidak tersambung sama sekali.

Mondar-mandir berjalan di depan rumah Mila, memikirkan cara untuk menemukan mereka.

Ada yang tidak beres, aku yakin itu. Tidak kusangka, dua sahabat yang kupercaya adalah manusia bajingan yang sama saja gilanya.

Demi apa? Mereka menjebakku seperti ini?

Sesak, napas menjadi tidak karuan. Mencoba meredam, dan tidak menangis di jalanan.

Mengapa? Harus sekejam ini kalian memperlakukanku, Teman?

***

Kupandangi butiran putih itu lamat-lamat. Kontrasepsi yang kubeli sebelum kembali. Aku tidak ingin kesalahan terjadi.

Terlebih, kejadian yang telah merenggut keperawananku itu meninggalkan benih.

Aku tidak ingin, dan aku tidak sudi. Mengandung dan membesarkan anak yang aku sendiri tidak tahu siapa bapaknya.

Ada perasaan marah, kesal dan kecewa. Tidak tahu harus menyalahkan siapa? Yang pasti, Delia dan Mila adalah dalangnya.

Aku bersumpah! Jika kalian tidak merasakan hal yang sama. Maka aku bukanlah Binnar Sunniva.

*

Mengapa Semesta tak adil menggariskan kisah untukku? Hanya menyelipkan derita tanpa goresan tawa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengapa Semesta tak adil menggariskan kisah untukku? Hanya menyelipkan derita tanpa goresan tawa. Mengapa Semesta, hanya aku yang terhukum oleh kekejaman dunia?
.
.
.
Binar Sunniva

Cinta, Kala Fajar MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang