Broken home, apa yang terlintas jika kalimat itu yang disebutkan?
Rumah tangga yang berantakan dan juga pertengkaran, perceraian atau yang lainnya?
Broken home, bukan hanya sekadar perpisahan dua insan yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan.
...
WARNING! * Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN * * * Semua cast hasil meminjam dari web dan pinterest. *
Perlahan kelopak mata terbuka saat hangat mentari menyapa wajah. Aku terbangun, duduk dan termenung.
Matahari yang senantiasa menyapa bumi adalah satu-satunya yang peduli akan bangunnya diriku.
Hangat sinar itu selalu memaksaku untuk kembali memulai hari-hari yang sama saja buruknya.
Entah kenapa dia sangat setia, walau setiap gelap yang membawaku terlelap. Aku memohon agar tidak akan pernah terbangun lagi, di pagi ini atau di pagi seterusnya.
Bukan tanpa alasan, karena bagi semesta, ada atau tidaknya aku di dunia. Sama saja.
Kulihat pergelangan tangan yang masih berdenyut. Tidak lagi berdarah, karena luka-luka itu sudah tertutup oleh darah yang mengering.
Kuhela napas dan bergeser ke tepi ranjang. Melihat luka itu dengan pandangan nanar.
Pertanyaan itu kembali terlintas, jika seandainya luka ini terus berdarah dan aku mati karenanya? Kira-kira berapa lama mama akan menemukan jasad tanpa nyawa?
Aku tersenyum kecut, lantas kepala menggeleng pelan. Membuka pintu kamar, dan tidak ada siapapun lagi.
Hampa, kosong dan sunyi. Tidak ada apa pun, bahkan hanya sebuah kenangan saja pun tidak ada.
Bayangan akan indahnya sebuah keluarga atau bayangan tawa di masa lalu kita. Aku tersenyum getir.
Bodoh! Memang kapan itu pernah terjadi? Tidak pernah, dan selamanya itu hanyalah dongeng tentang semu belaka.
Aku berjalan ke arah dapur, seperti biasa. Hanya ada uang yang ditindih di bawah sebuah benda.
Kadang aku juga merasa, apakah di dalam dunia mama uang adalah segalanya? Mengapa? Hanya untuk sepiring nasi goreng buatan mama saja aku tidak pernah merasakannya?
Rasanya lelah, aku jenuh menjalani hidup di dunia.
Tidak ada harapan, tidak ada masa depan yang bisa ditata. Semuanya hampa, kehidupan ini hanya berjalan untuk menghabiskan sisa nyawa pada raga.
Mama, bisakah Binar meminta? Sekali saja, hadirlah saat Binar membuka mata.
Kupandangi uang itu lamat-lamat. Ada yang tergores lagi setiap paginya. Ketika sunyi rumah ini membawakan rasa sepi. Dingin, tanpa kasih yang menghiasi.
Bisakah, selembar uang merah ini menggantikan mama? Atau bisakah? Uang ini menggantikan arti Binar jika raga sudah tidak lagi bernyawa?
Aku menggeleng, mungkin mama akan lebih bahagia jika aku tidak ada. Karena tidak akan ada yang membebani mama. Agar mama bisa istirahat dan tidak lagi bekerja.
Aku membuka almari di dapur, meraba setiap sisinya untuk mencari benda itu di sana.
"Mbak Binar cari apa?"
Aku beringsut, terkejut saat mendengar suara itu menyapa. Kuhela napas dan menetralkan degup jatung di dada.
Melihat wanita gempal yang disewa mama untuk membersihkan rumah itu tengah tersenyum ke arahku.
"Bibi, kok ngageti, sih?" Kupegang dada dan mengatur napas yang memburu kencang.
"Maaf, Mbak. Bibi cuma maksud bertanya, bukan ngageti." Dia terkikik, entah apa yang lucu.
Melihat wajahnya aku ikut tersenyum, mengurungkan niat untuk mencari cutter.
"Bibi kok datangnya pagian? Emang anak Bibi nggak sekolah?" tanyaku menarik salah satu kursi di sana. Lantas menarik selembar uang yang mama tindih di bawah gelas.
"Udah pergi semua, Mbak. Anak Bibi yang sulung, kan udah SMA, udah bisa urus adik-adiknya." Dia menjawab seraya membereskan sisa-sisa piring yang berantakan.
Kupandangi wajah keriput itu lamat-lamat. Bibirnya terus bergerak, bercerita banyak hal tentang keluarganya.
Rasa iri acapkali muncul saat mendengar nasib anak-anaknya Bi Asih. Bi Asih juga bekerja, Bi Asih juga seorang janda. Namun mengapa? Bi Asih masih sempat memasak sarapan sebelum anak-anaknya berangkat sekolah?
Walau kadang anak-anak Bi Asih harus jajan dengan pas-pasan, atau kekurangan. Setidaknya, anak-anak Bi Asih tidak kelaparan saat pagi ataupun malam.
Bi Asih yang sederhana, masih sanggup mengurus tiga anaknya sendirian. Tidak kewalahan, bahkan masih sempat mengajarkan PR anak-anaknya.
Pernah beberapa kali si bungsu datang dan meminta Bi Asih untuk mengajarkannya. Bukan anak sekolahan, terkadang Bi Asih juga kebingungan.
Akan tetapi, Bi Asih masih berusaha untuk menjawab dan mengajarkan dengan benar.
Lantas, mengapa aku tidak bisa seperti itu pada mama? Bukankah aku hanya satu-satunya putri mereka?
Mengapa? Aku tidak jadi anak Bi Asih saja? Walau hanya memiliki ibu yang tidak sekolahan. Setidaknya, Bi Asih memperhatikan dan peduli pada kesusahan anak-anaknya.
"Mbak Binar udah sarapan?" Lamunanku tersadar saat suara itu memanggilkan nama.
Aku tersenyum dan menggeleng lemah.
"Mau Bi Asih masakin?"
"Nggak usah. Nanti aku makan di kampus saja."
Aku berlalu, meninggalkan Bi Asih sendiri. Kulkas memang jarang terisi stok makanan, dan Bi Asih memang hanya bertugas membersihkan rumah yang disuruh datang dua atau tiga hari sekali.
Tidak ada yang makan, karena itu kulkas di rumah ini hanya diisi minuman soda dan buah-buahan yang kadang busuk dengan sendirinya.
Apakah ini rumah? Bahkan buah saja bisa membusuk tanpa perhatian sang tuannya. Lantas, apakah aku hanya seonggok daging buat mama?
Bisa disimpan, ditampar dan dimarahi kapan saja untuk meluapkan lelahnya?
Mama, mengertilah. Binar ada di sini dan selalu menanti.
Entah itu kehadiran mama yang akan merengkuh, pun perhatian mama yang sekian lama tak acuh.
Binar kesepian, hampa dan tanpa teman bicara. Mengertilah, Binar butuh mama. Hanya mama.
*
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kadang karena kerinduan aku mengemis perhatian dari seorang wanita yang mendapatkan julukan mama. Walau setiap kali aku berharap, yang kuterima adalah luka yang makin dalam. Dia tidak peduli, tapi aku masih berharap dia akan menoleh dan mendekapku sekali, sekali saja. . . . Binnar Sunniva