WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*
Semua cast hasil meminjam dari web dan pinterest.
*Kaki menyapu rerumputan di bawah kursi taman. Pandangan menatap nanar ke bentangan luas langit siang.
Cerah, tertutupi mega berarak yang sangat putih nan indah. Getir, kucoba untuk meneguk saliva.
Setelah mati-matian untuk tidak menangis dan terlihat lemah. Kucoba menguatkan diri dan menata hati untuk kembali menerima segala perlakuannya.
"Kenapa Mama datang?" tanyaku pada wanita yang duduk di sebelah.
Berjarak, kadang aku bertanya, adakah mama dan anak yang begitu terpisah? Berseberangan rasa dan juga perasaan.
"Kenapa? Apa kamu sudah tidak menginginkan Mama lagi?" ketusan itu masih sama saja.
Aku tersenyum, getir. Sebenarnya aku lelah, jika yang dikatakan Levant benar, bahwa kami memerlukan komunikasi.
Bisakah komunikasi ini membawa perubahan pada apa yang ingin kutata pertama kali, hubungan kita yang kembali sempurna?
Bukan, tetapi bisakah menjadi sempurna?
Aku menghela napas, mencoba membuka luka tanpa sebuah amarah. Walau kecewa, adalah rasa yang paling mendominan di antara kita.
"Ma," panggilku lemah.
Wanita itu menoleh, masih kulihat keangkuhan tergambar di wajahnya.
"Kata orang, hubungan ibu dan anak itu sangat kuat. Bahkan ibu akan lebih dulu terluka saat anaknya kecewa. Aku ingin bertanya, pernakah Mama berpikir, kenapa aku lari dari rumah?"
Hening, embusan angin mendesis. Menghadirkan suara sayup ranting-ranting beradu.
"Pernahkah Mama bertanya alasan kenapa aku kabur dan menjauhi Mama?" ulangku lagi.
Aku menoleh, menatap ke arah mama. Dia hanya diam dengan silangan tangan di depan dadanya.
"Aku bukan ingin Mama marah dan memberikan luka kekecewaan atas segala yang kuperbuat. Aku tidak ingin Mama terus membentakku, seperti malam itu dan malam-malam yang telah lalu. Mengatakan segala umpatan dan juga melayangkan tamparan di wajahku."
"Lalu, kamu ingin apa? Kamu yang terus buat masalah, maunya Mama bagaimana?" tanyanya ketus.
Aku tertawa, miris. Ternyata, kami memang sejauh ini. Komunikasi seperti apa yang bisa memperbaiki, jika ego masing-masing telah membelah kami separah ini?
"Ma, selalu ada pertanyaan yang ingin kulontarkan pada Mama. Sebenarnya ... aku ini apa buat Mama?"
"Tentu saja kamu itu anak Mama, Binar. Siang-malam Mama bekerja buatmu, kalo Mama tidak peduli pada hidupmu, untuk apa Mama kerja keras hanya untuk menghidupimu!"
"Tapi Binar juga butuh perhatian Mama. Binar juga butuh hadirnya Mama. Binar juga butuh teman yang mendengarkan setiap cerita, menangis dan tertawa bersama. Bukan hanya selembar uang yang Binar temui saat membuka mata, atau bayangan hampa saat Binar akan terlelap di ujung senja."
Mama terdiam, hening dan juga hampa. Selalu perasaan ini yang hadir saat kami berada pada tempat yang sama.
Kapan kita bisa saling merengkuh, lalu bercerita tentang apa pun, Ma? Seperti yang anak-anak lainnya lakukan, aku juga ingin.
"Kapan kita pernah sarapan berdua? Atau Mama yang mengelus rambut Binar saat terjaga sebelum lelah membuat kita tetidur di kasur yang sama? Atau Mama yang bertanya, apa ada yang Binar ingin makan hari ini? Ingatkah Mama kapan terakhir kali itu terjadi?"
![](https://img.wattpad.com/cover/249668255-288-k219277.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta, Kala Fajar Menyapa
RandomBroken home, apa yang terlintas jika kalimat itu yang disebutkan? Rumah tangga yang berantakan dan juga pertengkaran, perceraian atau yang lainnya? Broken home, bukan hanya sekadar perpisahan dua insan yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan. ...