Lima Belas

28 5 1
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*
Semua cast hasil meminjam dari web dan pinterest.
*

Setelah beberapa lama terisak, aku melepaskan dekapan Levant. Memandangi wajah teduhnya yang sering sekali dihiasi senyum.

Levant membasuh sisa air mata di wajah. Pelan ibu jarinya megusap setiap sudut pipi. Lalu, satu tangan kembali mengusap puncak kepala.

"Semangat," katanya seraya mencubit pipiku.

Dia tidak bertanya, tidak mengatakan apa pun untuk sebuah cerita yang kuungkap.

Akan tetapi, mengapa? Seperti ini lebih nyaman dan tenang. Mungkin, yang kubutuhkan bukanlah solusi, hanya teman untuk mendengar keluh dan kesah yang tidak pernah mendapatkan perhatian dari mereka.

Kedua orang tuaku yang tidak pernah ada di rumah.

Tidak ada yang pernah bertanya, bagaimana hari-hariku dan juga luka yang kupendam selama ini.

Menanggung segala nestapa dan lara. Sendiri, tidak ada yang mengerti. Dan kini, aku tahu rasanya disayangi dan dipedulikan. Levant, kamu adalah fajarku. Secercah cahaya yang merubah seluruh malam gelapku dengan semburat cahaya kemerahan di ujung pagi yang menanti mentari.

***

"Binar!" panggilan itu terdengar diiringi ketukan dari balik kaca.

Aku memalingkan wajah, melihat Levant yang berdiri di balik kaca dengan mengangkat sebelah tangannya.

Ada sebuah kantung yang ia genggam. Pasti, dia mengajak untuk makan siang bersama lagi.

Walau awalnya aku risi dengan segala kebaikannya. Kini mulai terbiasa, bahkan aku mulai mencari keberadaannya jika tidak bertemu sehari saja.

"Ayo makan dulu," ajaknya sesaat setelah aku keluar dari mini market.

"Nggak bisa, Vant. Akan masuk barang, aku masih harus stay di gudang," tolakku lembut.

"Em." Dia menghela napas, mata teralih pada kantungan yang digenggam.

Tidak tega melihat wajah cerianya suram. Aku mengalah, egoku selalu kalah oleh dirinya yang perlahan menjadi istimewa. Di sini, di segumpal daging yang sangat peka, bernama hati.

"Baiklah, aku akan makan bersamamu. Tapi jangan lama, ya."

Dia kembali tersenyum, lebar, sampai jajaran gigi dan lesung di kedua belah pipinya terlihat jelas.

Memilih duduk di dekat pintu gudang, bahkan Levant tidak keberatan jika harus makan bersama di tepi trotoar jalan.

Di saat semua orang meninggalkanku sendiri, mengapa? Lelaki seperti Levant justru mendekat dan semakin lekat. Entah itu pada hubungan teman, atau hadirnya yang menjadi spesial dan kuharapkan akan selalu terjaga sampai akhir nyawa.

Kuperhatikan gerakan bibir Levant yang tengah mengunyah makanannya. Lucu, dengan lesung yang sering kali terlihat bahkan walau ia tidak tersenyum.

"Kenapa lihati aku begitu?" Dia bertanya.

"Kangen, ya." Dia menyenggol bahu.

Badanku sedikit memiring, aku tertawa dan menggeleng pelan.

"Baru nyadar, kalo lesung kamu ada dua, Vant."

Lelaki itu memutar bola matanya, lantas seperti berpikir.

"Lah, kan, memang dua. Kok bisa baru nyadar?"

Cinta, Kala Fajar MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang