Tiga Belas

34 7 0
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*
Semua cast hasil meminjam dari web dan pinterest.
*

Sepanjang hari aku memandangi gedung yang ada di depan sana. Ribuan pertanyaan kembali terlontar, akankah kasih papa seperti yang aku rasakan karena usapannya?

Bukan tidak pernah merasakannya dulu. Hanya saja rasa nyaman itu telah berganti dengan rasa hampa dan sunyi. Kenangan yang hilang berganti dengan gema langkah kesepian.

Mama, papa, bagaimana kabar kalian di sana? Tanpa sadar air menggenang di sudut mata. Kuusap secepatnya takut ada yang melihat.

Aku bukan gadis lemah, dan tidak ingin terlihat lemah. Biarlah mama dan papa bahagia. Aku, tetap seperti ini sampai kapan? Pun aku tidak tahu.

***

Kusesap sebatang rokok setelah makan siang, menyendiri, di area taman dekat dengan gedung Levant bekerja. Sengaja aku mencari jarak agak jauh, tidak enak jika mereka tahu kebiasaanku yang selalu menyesap rokok.

Selalu makan lebih lambat dari yang lainnya, menjauh dan menyendiri. Aku tidak suka sendiri dan sunyi, tetapi juga tidak nyaman di tengah keramaian dan gelak tawa yang memecahkan keheningan.

Entahlah, aku pun bingung. Terkadang juga merasa aneh. Jenuh jika ada yang terlalu memaksa untuk mendekati.

"Sendirian aja, Mbak?"

Aku menoleh, melihat lelaki dengan kemeja putih itu ada di sebelah.

Tidak terlalu peduli, kembali mensesap rokok dan mengembuskannya ke atas. Mata melirik, melihat Levant yang hanya diam memandangiku.

Aneh mungkin, lelaki sepertinya melihat gadis sepertiku ini. Dia yang dari cara berbicara saja sangat berbeda dari kaumku dan sejenisnya.

"Kenapa?" tanyaku ketus. "Aneh, ya. Lihat cewek merokok?"

Dia hanya tersenyum, kini lesung di kedua belah pipinya semakin terlihat menawan. Entah mengapa?

Dia menghampiri, menjatuhkan bokong di sebelah. Tidak mengucapkan apa-apa. Hanya meminum soda yang dibawanya.

"Vant, boleh gua nanya?"

Lelaki itu menggulum bibirnya, membuat lesung itu semakin terlihat jelas. Hanya menoleh dan memandang ke arahku.

"Kenapa suka banget deketi gua? Padahal gua, kan, aneh. Ketus lagi."

"Awalnya, sih, aku cuma merasa bersalah sama kamu."

"Bersalah?" tanyaku menatapnya.

Dia mengangguk, tangannya memainkan kaleng di genggaman.

"Karena kejadian pagi itu. Eh, rupanya keterusan, lagian aku anak magang di sini dan belum ada teman. Makanya selalu gangguin kamu, setidaknya ada yang kuajak bicara selain orang kantor yang nyuruh ini dan itu."

Aku tertawa, sinis. Menyesap rokok, lalu menggeleng pelan.

"Hanya pelampiasan ternyata," gumamku miris.

"Bukan juga, sih. Lihat kamu unik, sih. Biasa cewek-cewek itu suka senyum. Kamu malah manyun terus, nggak banyak bicara dan diam saja. Aku takutnya lama-lama kamu bisu sangking seringnya diam."

"Ngelawak?" tanyaku dingin.

Dia tersenyum, lantas menggelang.

"Kali aja bisa sering lihat kamu senyum. Kan, bagus."

Cinta, Kala Fajar MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang