Sebelas

32 6 0
                                    

WARNING!
*
Dilarang mengcopy sebagian atau seluruh isi cerita. Naskah sudah diterbitkan, memiliki hak cipta beserta terdaftar ISBN
*
*
*
Semua cast hasil meminjam dari web dan pinterest.
*

Mata memperhatikan seorang gadis kecil yang tengah terduduk sendiri. Dengan memainkan kakinya di kursi santai yang berjajar di sebelah gedung perkantoran.

Selama hampir dua bulan aku bekerja di sini. Memang sering melihat gadis mungil dengan seragam salah satu Taman Kanak-Kanak itu duduk sendiri selama berjam-jam di sana.

Terkadang sambil mengemil snack-snack pemberian seorang wanita berpakain rapi dari gedung itu, atau hanya meminum sekotak susu.

Iba, nuraniku ingin melangkah dan menemani dia yang sendiri di sana. Namun, aku juga tidak tahu harus bagaimana menyapanya?

Sedih dan juga kasihan. Ternyata, akan selalu ada calon-calon anak sepertiku. Karena yang kutahu, dia tengah menunggu ibu. 

Iya, wanita berpakaian rapi yang sering membelikan camilan di sini adalah ibunya. Lebih tepatnya ibu dan juga ayah. Peraturan kantor yang tidak boleh membawa anak ke dalamnya, harus membuat gadis kecil itu menunggu.

Sayang sekali, ketika anak-anak berusia dini, harus dipaksa memahami kondisi orang tua.

Merampas kebahagiaan kami, aku dan anak kecil itu. Mungkin banyak yang lainnya, karena keegoisan mereka.

Ketika pikiran kami masih terlalu polos, kami harus dibebani oleh permasalahan orang dewasa. Masa kecil kami yang indah berubah. Tidak ada tawa dan permainan layaknya anak seusia. 

Masa bahagia kami berubah, pikiran kami harus lebih dewasa dari usia. Iya, saat yang lain tidak paham apa itu kata cerai, dan kami sudah diajarkan tentang kata pisah yang mengharuskan memilih antara mama dan papa.

Sebenarnya apa yang mau dipilih? Apakah orang tua adalah pilihan? Aku menggeleng, bagaimana bisa kami memilih, kalo kedua pilihan adalah sama saja. Sama-sama luka.

Bagai mengenggam dua sisi pedang yang tajam, mengenggam dari arah kanan tetap akan berdarah. Begitupun arah sebaliknya.

Lamunan tersadar ketika suara ketukan dari atas meja. Kulihat lelaki dengan kemeja putih itu meletakan dua kaleng kopi.

Aku menghela napas, memutar bola mata malas. Dia lagi, dia lagi.

"Melamun aja, Mbak? Banyak masalah, ya?" Dia bertanya.

Aku tak peduli.

"Dih, sebenarnya ngomong sama manusia atau tunggul kelapa?

Tak kuhiraukan, tangan sibuk menghitung minuman miliknya.

"Pelayanan kok jutek amat, ya? Di sini ada keluhan costumer kagak?" Dia bersiul-siul tak jelas dengan membuang pandangan ke arah entah. 

"Jangan macem-macem, deh!" ketusku tak suka.

"Wuih, bisa bicara, Mbak? Kirain mulutnya ada cuma buat manyun aja."

Aku menggeleng, mulai jenuh dengan segala celotehnya.

"Paan, sih?"

Cinta, Kala Fajar MenyapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang