"Kamu tahu apa Mas tentang aku? Jangan nuduh macem-macem, deh!" Aku menatapnya dengan sedikit bergemetar.
Namun, ia tampak tak acuh sekali.
"Aku sudah tahu, Sania! Kamu memang Ibu yang kejam!" bentaknya padaku.Dahiku mengernyit, aku tak bisa membiarkan Mas Bahar tahu tentang ini.
"Ah, aku tidak peduli denganmu, Mas. Omong kosong ini tidak berguna!" Aku bangkit dan berniat menuju ke kamar.
"Hei, selesaikan dulu!" Ia menarik tanganku dengan paksa dan membungkam mulutku.
Aku berusaha berteriak serta berniat menggigit tangannya yang membungkam mulutku. Namun, sangat susah sekali."Diam, Sania! Aku akan membinasakanmu!" bisiknya padaku.
Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi, Mas Bahar seperti monster yang ingin melahap mangsanya. Namun, dengan sekuat tenaga aku berhasil menggigit tangannya dan bisa melepaskan diri.
"Hei, Sania!"
Aku berlari menuju kamarku dan menguncinya dari dalam.
"Mas Bahar ingin membunuhku? Mas Bahar sudah tahu semuanya? Bukankah tidak ada orang lain selain Bu Puji dan aku? Jadi dia tahu dari siapa?" gumamku dalam hati terduduk lemas dibelakang pintu.
"Sania! Buka Sania!"
"Diam, Mas! Nanti anak-anak akan terbangun!" sahutku dari dalam kamar.
Aku harus bagaimana ini? Kabur? Tapi, ke mana? Apa aku harus pergi ke rumah Bu Puji sekarang juga?
Mas Bahar terus berusaha masuk dan mendobrak pintu berkali-kali, tenaganya sangat kuat sekali.
Aku mulai membuka lemari yang berisi semua perhiasan serta uangku. Aku berniat pergi sebelum Mas Bahar bisa masuk kamar, aku akan keluar melalui jendela kamarku.
"Aduh, Mas Bahar kenapa bisa begini?!" Tubuhku bergemetar takut sekali.
Namun, suara dobrakan pintu dari Mas Bahar sudah hening.
"Mas Bahar pergi?" gumamku dalam hati.
Ah sudahlah, aku tak menghiraukannya.
"Aku harus pergi sekarang." Aku hanya membawa uang serta perhiasanku.Baru saja aku membuka jendela ini, aku terkejut ternyata Mas Bahar sudah mempergokiku.
"Ah, sial!"
"Mau ke mana, Sania?!" matanya mendelik lalu mendorongku keatas ranjang.
"Mas, tolong, Mas! Aku khilaf, maafkan aku!" Aku terus memohon kepadanya.
Ia membawa sebilah golok tajam di tangan kanannya.
"Sania, Ibu jahanam! Apakah kamu bisa kembalikan anak-anakku?" bisiknya terdengar sangat menakutkan.
Aku menelan ludah dengan kasar, degup jantungku serasa berhenti mungkin saatnya aku akan mati di tangan Mas Bahar.
"Mas, tolong, Mas. Aku khilaf. Aku sadar perbuatanku sudah sangat fatal." Aku mencoba membujuknya.
"Mas, tolong buang golok itu dari tanganmu! Aku takut, Mas!" imbuhku lagi.
Ia menoleh pada golok yang sedang ia pegang.
"Ini? Kamu takut?"Aku mengangguk pelan.
"Tapi, mengapa kamu tidak takut di saat semua nyawa anakmu direnggut oleh iblis seperti dirimu?" ungkapnya.
"Ini bukan salahku, Mas. Tolong percayalah!"
Mas Bahar meludahiku."Omong kosong! Mana semua uangmu dan perhiasanmu?" Ia menodongkan goloknya serta meminta perhiasan dan uangku.
"Untuk apa, Mas?! Ini milikku!" Aku mencoba menahan tas yang memang berisi semua uang dan perhiasan.
"Sini! Akan aku bakar semua uang haram milikmu Sania!" Ia menarik paksa tasku serta golok yang ia todongkan tepat di depan wajahku.
Aku tak bisa berkutik apa-apa lagi, tas yang semula berada di tanganku sekarang sudah di tangan Mas Bahar.
Perlahan ia membuka tas milikku, tetapi ....
"Apa ini? Abu apa ini, Sania?" tatapan Mas Bahar seketika berubah."Abu apa, Mas!"
Ia memperlihatkan di dalam tasku ternyata uang dan perhiasanku berubah menjadi abu hitam.
"Ke mana uangku?" Aku menatap dan mengorek ke dalam tasku. Namun, tak ada uang atau perhiasan sepeser pun."Sudah terbukti sekarang!" Mas Bahar kembali berulah, ia masih menodongkan goloknya padaku.
"Bapak! Bapak! Ibu! Zaki pingsan!" Teriakan serta gedoran di balik pintu membuatku terkejut.
"Ada apa, Adrian?!" teriak dari Mas Bahar.
Aku yang langsung panik mendorong Mas Bahar dan keluar dari kamarku."Kenapa, Adrian?" tanyaku pada si anak sulungku ini.
"Zaki pingsan, Bu, muntah-muntah!" jawabnya.
"Astaga!""Ini semua ulahmu lagi, Sania!" Mas Bahar masih emosi, ia kembali menuduhku.
"Mas! Aku tidak tahu hal yang menimpa Zaki. Cukup! Jangan menuduhku lagi!" Aku berlari menuju tempat Zaki.
Ternyata benar, Zaki terbujur di atas ranjang dengan bekas muntahan dan sedikit darah berceceran.
"Badannya dingin, Bu," ungkap Adrian.
Aku menelan ludah kasar, kuperiksa denyut nadinya serta embusan napasnya. Namun, aku tak merasakan adanya hal itu.Zaki tumbal berikutnya? Aku membatin.
"Adrian, Ibumu sudah keterlaluan!" Mas Bahar datang dengan nada sangat kasar.
"Bapak kenapa bawa golok seperti itu? Bahaya, Pak!" ucap Adrian.
Aku memeluknya dengan sangat erat, entah mengapa ia sudah tahu bahwa aku Ibu yang tidak baik. Namun, ia berusaha membela diriku.
"Jangan sok peduli dengan Adrian, Sania! Aku tahu di balik otak busukmu itu!" timpal Mas Bahar padaku.Aku melepas pelukanku.
"Sudah berapa kali aku bilang Mas, ini bukan ulahku!" timpalku padanya.
Ia tak menjawab apa pun lalu menyingkirkanku dari hadapan Zaki.
Ia memeriksa semua tubuh Zaki secara perlahan, lalu tak lama kemudian ia menangis.
Ia berbalik badan dan menatapku dengan deraian air mata yang terus mengalir dipipinya.
"Lihat, Sania! Zaki sudah tak bernyawa! Apa kamu masih bisa merasakan sedih? Apakah kamu masih bisa menangis?"Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Apa kamu masih percaya Tuhan?"
Ucapannya membuatku sangat tersadar, aku adalah Ibu yang keji.
"Mas, aku khilaf!"
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...