Memiliki kekasih yang hebat akan membuat seseorang sulit menerima orang biasa usai selesai dengannya. Namun, kesadaran bahwa dia juga orang biasa, mendorong Dinar menjaga diri untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Sebab itu, dia menolak lamaran Hanan dan duduk di pertemuan ta'aruf yang ditentukan ayahnya.
Hanya saja, perempuan itu tidak menyangka, semuanya lebih membosankan dari yang dia kira.
"Aku sudah membaca resumemu. Kamu orang yang menarik dan pekerja keras ya?" ujar calon pertamanya yang berprofesi sama dengannya.
"Selain lebih cantik dari yang difoto, aku takjub karena kamu lebih mandiri dan sangat bertanggung jawab dengan keluargamu. Aku menyukai perempuan sepertimu."
Calon keduanya yang seorang pekerja kantor memberi tanggapan setelah mereka bertemu. Sementara, calon ketiganya yang merupakan perintis bisnis tidak suka berbasi-basi dan langsung mengatakan.
"Kurasa aku cocok denganmu. Bagaimana jika melangkah ke jenjang selanjutnya segera? Gak buruk juga kalau kita pendekatan setelah menikah, kan?"
Dinar tak merespon dengan cepat, dia mengambil minumannya untuk menutupi perasaan aslinya baru memberi jawaban.
"Mas, kalau bagimu menikah itu 'yang penting punya istri', maaf aku gak bisa. Meskipun usiaku udah segini, aku mau pendekatan dan kenal lebih dalam dulu. Lebih baik kita menyesal gak jadi nikah, daripada kita nyesel pas udah nikah kan? Nikah itu mudah, akad di depan penghulu sama wanita mana pun juga sah, tapi buat menyambung hidup sampai akhir hayat butuh orang yang tepat."
Perempuan itu berbicara dengan tenang dan memberi senyuman. Namun, semua laki-laki itu memberi tanggapan yang sama.
"Aku suka sikap tenangmu, tapi gak sama kesombongan. Perawan tua aja congkaknya selangit. Pantas aja, meski cantik, kamu gak nikah-nikah. Mantan pacarmu pasti cuma jadiin kamu bahan pamer, kan? Bukan buat diajak berumah tangga."
Dan, Dinar tak menanggapi apa-apa.
Bagaimana pun laki-laki yang baik tak akan mengatainya seperti itu meski dia menolak secara kasar sekalipun. Alasan itu juga yang membuat Dinar mengedepankan pengenalan lebih dekat sebelum memutuskan untuk menikah.
Apa dalam hati dia menyesal?
Sama sekali tidak.
Satu-satunya hal yang dia sesali adalah dirinya yang masih tak bisa menerima bahwa dia tidak bisa lepas dari bayangan cinta pertamanya. Padahal, di dunia ini tak mesti ada laki-laki yang sepertinya lagi.
Tak mungkin ada.
Dinar menghela napas atas pemikirannya sendiri. Jika terus seperti ini, bukankah ayahnya akan mengkhawatirkannya? Sedang, dia sendiri sudah mengatakan tak ada lagi perasaan apa-apa.
Tepat saat Dinar masih bergumul dengan pikiran ruwetnya, perempuan paruh baya berkulit bersih dengan kerudung coklat muda masuk ke dalam rumah makan dan menegurnya.
"Dinar ..."
Itu adalah ibu tirinya, Laila. Dia menenteng kresek belanjaan lalu meletakkannya di meja.
"Udah selesai, Bu? Mau pesen minum dulu?"
Dinar menawarkan. Meski Laila masih seperti orang asing sebab mereka tak tinggal satu atap sebelumnya, Dinar berusaha bersikap baik. Bagaimana pun, dialah yang sudah mengurus ayah dan adiknya saat dia tidak ada.
"Gak usah. Ibu cuma mau numpang duduk sebentar. Capek tadi muter-muter," balas Laila.
"Gimana tadi? Ada yang cocok? Atau paling gak kamu tertarik buat kenalan lebih dekat? Ibu gak tahu gimana selera laki-laki yang kamu sukai, tapi dari sekian anak teman laki-laki Ibu, mereka sudah yang paling lumayan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinar : Telaga Kedua (Proses Terbit)
Espiritual- Update setiap hari - Mereka dipisahkan paksa karena perbedaan status. Kini Dinar justru mendapat lamaran dari pria yang sama, namun untuk menjadi istri kedua. *** Lima tahun telah berlalu sejak Dinar meninggalkan Fatih. Dia pergi agar Fatih mau...