Ada 2 jenis orang yang memutuskan untuk hidup di perantauan. Pertama, mereka yang pergi untuk kembali dengan hidup lebih baik. Kedua, mereka yang pergi dengan tidak ingin kembali karena kampung halaman sudah terlalu menyakitkan untuknya. Akan tetapi, Dinar tidak masuk dalam keduanya. Dia pergi bukan karena kemauannya, melainkan dipaksa. Ya, keadaan membuatnya tidak memiliki pilihan selain meninggalkan rumah. Namun, tidak seperti dia sangat kembali sebab pulang berarti dia harus siap hidup kembali dalam masyarakat yang akan menggunjingkan masa lalunya di mana-mana.
Sama seperti saat dia harus menghadiri acara bulanan yang ada di keluarga besarnya.
“Loh, ada Nduk Dinar? Kapan pulang? Sudah mau menikah toh, makanya pulang?”
Ismiyati, salah satu dari bibi Dinar bertanya. Dinar hanya menebar senyum tipis.
“Atau belum ada calon? Kalau belum, mau Budhe kenalin?” Kali ini Ambar-bibinya yang lain menimpali.
Saat itu Dinar tidak langsung menjawab, dia mengatur hatinya yang berdenyut dulu sebelum memberikan jawaban.
“Suwun atas perhatiannya, Budhe. Tapi, kulo masih mempertimbangkan calon-calon yang dikenalin sama Ibuk, jadi mungkin nanti.”
“Ah, yo bagus kalau gitu. Saran Budhe ya jangan terlalu pilih-pilih, inget umur, Nduk. Mbak-mbakmu aja anaknya udah mau dua, tiga ini loh.” Ismiyati menegur. Ambar pun menambahi.
“Itu, bener, Dinar. Jangan nyari yang tinggi-tinggi. Kalau kamu nyari yang kayak Gus Fatih yo di sini ndak ada. Kalau ada pun belum tentu mau, bener ndak, Laila?”
Ibu sambung Dinar hanya tersenyum tipis tanpa memberikan tanggapan. Bagaimana pun Dinar tahu, Laila pasti ingin berhati-hati agar tidak salah berucap atau dia hanya akan menambah sesak di hatinya.
Tepat saat itu, ayah Dinar menegur bahwa acara tahlilan dan yasinan untuk memperingati geblak atau hari kematian orang tua mereka akan segera dimulai. Acara rutin keluarga itu pun berlangsung tertib dan khidmat. Namun, sepanjang waktu, hanya Dinar sendiri yang merasa sepi dan tidak nyaman di tengah-tengah riuh dan ramainya 9 keluarga bersaudara itu. Akhirnya, usai menghabiskan makanannya setelah tahlilan, Dinar beranjak ke teras dengan alasan mencari angin.
Di tempat yang dipenuhi keponakan dan sepupu kecil yang berlarian atau main game, Dinar duduk di ayunan panjang. Dia melihat langit malam yang berbintang dan menikmati sepoi angin yang menyegarkan. Andai dunia sedamai saat dia sendirian, pasti lebih menenangkan.
Saat dia baru saja memejamkan mata, seseorang memanggilnya.
“Mbak …”
Itu adalah ayahnya, Salman.
“Dalem, Yah.”
“Kenapa di sini sendirian? Gak dingin?” tanyanya.
“Lebih dingin di dalem, Yah.” Dinar menyandarkan kepala pada ayahnya. Salman menghela napas dan ikut melihat ke arah langit.
“Lah, gimana? Mau ayah peluk?” Salam bertanya lagi. Namun, sebelum Dinar menjawabnya, Salman sudah kembali berbicara.
“Tapi, lebih hangat pelukan suami loh, Mbak. Apa gak pengen?”
Di titik itu, Dinar menegakkan diri lalu menunduk.
“Kalau dibilang, pengen … siapa sih yang gak mau, ngikutin sunnahnya Kanjeng Nabi, Yah? Tapi, Dinar merasa belum ada yang cocok.”
“Mau denger saran dari ayah?”
Dinar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Suami-istri itu mau seberapa lamanya mereka kenal sebelumnya, gak akan ada yang bener-bener cocok. Cocok 50 persen aja udah bagus banget. Karena pada dasarnya, suami-istri tetep dua kepala yang punya sudut pikirannya masing-masing. Yang membuat bersatu ya komitmen buat hidup bersama, setelah itu baru saling mencocokkan diri. Gak ada … yang dua orang ketemu langsung plek-ketiplek cocok, itu ndak ada.” Salman menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinar : Telaga Kedua (Proses Terbit)
Espiritual- Update setiap hari - Mereka dipisahkan paksa karena perbedaan status. Kini Dinar justru mendapat lamaran dari pria yang sama, namun untuk menjadi istri kedua. *** Lima tahun telah berlalu sejak Dinar meninggalkan Fatih. Dia pergi agar Fatih mau...