Usai semalaman dan seharian memikirkan apa yang harus dirinya lakukan, Dinar mendapat tamu tak diundang jauh-jauh dari luar kota. Siapa orang itu jika bukan Hanan Firdaus? Pria tampan itu bertandang ke rumahnya tanpa kabar lebih dulu. Dinar sedikit kaget karena ayahnya jadi berpikiran macam-macam.
“Ah, kalau ada orang yang seramah dan seganteng Mas di deket Dinar, Bapak jadi tenang. Kenapa Dinar gak pernah bilang-bilang ya?”
Salman mencoba bercanda. Hanan jadi kegirangan padahal dia hanya memperkenalkan diri sebagai teman mengajar Dinar tanpa menyebutkan latar belakangnya. Namun, sepertinya dia sudah mendapat lampu hijau dari ayah Dinar.
“Haha, kenapa nggeh, Pak? Saya juga penasaran. Apa karena saya bukan tipenya? Atau karena saya cuma guru?” Hanan ikut menanggapinya dengan cengiran.
Dia berniat ikut bercanda, tetapi jawaban Salman di luar perkiraannya.
“Kenapa guru disebut ‘cuma’, Mas? Guru itu kan pekerjaan mulia. Orang yang paling bermanfaat ya mereka yang belajar ilmu dan mengajarkannya. Toh, Dinar juga guru biasa.”
Tanggapan Salman membuat hati Hanan lega, tetapi Dinar yang keluar membawa makanan ringan menghancurkan image seorang guru sederhana yang dia bangun.
“Hanan benar guru biasa, Pak. Tapi, ayahnya kepala yayasan dan kerjaan sampingan Hanan ngehasilin banyak uang. Dia ngajar cuma karena biar gak bosan.”
Saat mendengar sahutan Dinar, Salman jadi terdiam sejenak. Padahal, dia tadi sudah senang karena ada seorang pria biasa yang baik dan terlihat suka dengan putrinya.
“Ya, malah tambah bagus, kan? Artinya, Hanan punya usahanya sendiri dan gak bergantung sama warisan orang tuanya. Kerja bagus, Mas.”
Salman berusaha agar tidak terlihat terkejut dan seolah biasa di hadapan Hanan. Hanan pun menanggapinya dengan perasaan nyaman karena menganggap Salman tidak masalah dengan hal itu. Jadi, tinggal dia yang harus meluluhkan hati Dinar.
“Alhamdulillah, Pak. Saya juga gak sehebat yang Dinar bilang. Saya masih harus banyak belajar dan bekerja lebih keras lagi. Yang besar sekarang masih nama ayah saya, tapi Dinar mengkhawatirkan hal itu. Padahal, ayah dan ibu saya gak masalah. Asalkan perempuan itu beragama dan berakhlak baik, mereka setuju.”
Di titik itu, Salman mengambil napas panjang dan tersenyum. Tentu dia mengerti kekhawatiran putrinya. Karena keluarga mereka sangat biasa-biasa saja. Dia sendiri hanya mengurus lahan milik warisan keluarga yang tak seberapa dan mengajar diniyyah. Sementara istrinya seorang tukang jahit rumahan. Jadi, setelah mendapat pengalaman tidak mengenakkan dengan keluarga Fatih, Dinar pasti terluka. Salman tahu keresahannya.
“Apa Dinar sudah pernah bertemu dengan orang tuamu?” Salman bertanya sebelum memberikan arahan lebih lanjut.
Hanan menatap Dinar sekilas lalu tersenyum pada Salman.
“Ya, jika bertemu biasa sudah karena ayah dan ibu saya sering kali ke madrasah. Tapi, untuk pertemuan lebih lanjut belum, Pak. Saya berinisiatif ke sini lebih dulu buat minta izin sama Bapak. Jadi, apa saya boleh mengajak Dinar untuk pendekatan yang lebih serius? Dinar selalu menolak saya, tapi saat saya tanya alasannya kenapa, dia tidak menjawab dengan pasti dan hanya menghindar.”
Penjelasan Hanan membuat Salman menatap Dinar, tetapi Dinar tidak meresponnya. Perempuan itu justru mengalihkan pandangan.
“Mas Hanan …” panggil Salman setelah banyak menghela napas.
“Nggeh, Pak?”
“Dinar pernah gagal dalam hubungan karena keluarga pihak laki-laki sangat lebih-lebih di atas kami, jadi Dinar pasti khawatir. Saran dari Bapak, jika kamu bener-benar menyukai Dinar, pastikan orang tua dan saudara-saudaramu bisa menerima Dinar. Pernikahan itu bukan cuma tentang dua orang yang menyukai, kan? Tetapi tentang penyatuan dua keluarga juga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dinar : Telaga Kedua (Proses Terbit)
Spirituale- Update setiap hari - Mereka dipisahkan paksa karena perbedaan status. Kini Dinar justru mendapat lamaran dari pria yang sama, namun untuk menjadi istri kedua. *** Lima tahun telah berlalu sejak Dinar meninggalkan Fatih. Dia pergi agar Fatih mau...