Part 7 - (Bukan) Kebaikan Bersama

4.7K 272 6
                                    

Berbagi suami dengan sahabat sendiri tidak termasuk dalam rencana hidup Rahma, tetapi menikah dengan kekasih sahabatnya juga bukan sesuatu yang dia inginkan. Jika waktu bisa diputar dan dia tahu bahwa perempuan yang dicintai Fatih adalah Dinar, dia pasti akan menolak perjodohan. Bodohnya, dia yang tak tahu apa-apa justru menceritakan sikap acuh suaminya dan meminta saran untuk memperbaiki hubungan pada Dinar. Jadi, saat dia tahu kebenarannya, dia tidak bisa membendung perasaan bersalah di hatinya.

Ketika itu, dia masih hamil muda dan merasa tertekan luar biasa. Dia pun bercerita pada uminya.

"Mi, apa yang harus aku lakuin? Aku gak tahu apa-apa, tapi ternyata aku nyakitin Dinar selama ini. Apa yang harus aku lakuin, Mi? Minta maaf aja rasanya gak cukup. Tapi, buat minta maaf juga aku gak bisa karena dia gak bisa dihubungi."

Rahma berbaring di pangkuan ibunya sembari menetes air mata. Dia sudah menahan-nahan diri, tetapi pertahanan terakhirnya runtuh setelah ibunya datang untuk menjenguknya yang sakit di rumah.

"Uwes, Nduk. Uwes. Ini bukan salahmu. Umi juga ndak tahu kalau ternyata perempuan yang disukai Guse sebelumnya itu Dinar. Padahal, kalau Umi tahu, lebih baik Umi ngalihin perjodohan ini ke Dinar sebelum kamu jadi suka sama Guse. Kan Dinar sudah Umi anggap anak sendiri. Tapi, semuanya sudah terlanjur, Nduk. Gusti Allah sudah berkehendak nyatuin kamu sama Fatih, jadi sudah cukup. Ndak perlu merasa bersalah berlebihan sampai sakit gini, ndak baik. Mungkin, Dinar juga mau lihat kamu bahagia, jadi jangan kayak gini. Jangan bales pengorbanan Dinar dengan sakit dan membahayakan diri kamu sama anakmu. Kamu harus semangat dan lebih bahagia kayak yang Dinar harapin."

Bu nyai Salimah berusaha menghibur Rahma, tetapi putrinya itu tetap tidak merasa lebih baik. Air matanya justru kian mengalir lebih deras.

"Apa bener Dinar mau aku sama Mas Fatih bahagia, Mi? Apa bener itu yang dia harapin? Kalau iya, kenapa Dinar gak dateng di pernikahanku? Sekarang, dia juga gak bisa dihubungi. Apa bener, yang Dinar inginkan itu kebahagiaanku? Aku takut, Dinar benci sama aku, Mi ..."

Rahma akhirnya benar-benar menangis dengan sesenggukkan. Bu Nyai Salimah lantas menciumi kening dan pipinya agar dia tenang. Akan tetapi, setenang apapun kondisinya, hati Rahma tetap tidak bisa melupakan rasa bersalahnya terhadap Dinar. Karena sebesar rasa bersalahnya, sebesar itu juga dia menyayangi Dinar.

Sekarang, setelah banyak tahun berlalu, rasa bersalah itu tetap masih ada. Dan karena kondisi kesehatannya yang memburuk, ide untuk meminang Dinar sebagai madu pun terlintas di benak Rahma. Apalagi saat dia melihat dengan jelas bahwa Rumi bisa tenang saat bersama Dinar. Hatinya menjadi lega sekaligus serakah. Dia berpikir, meminta Dinar untuk menjaga Rumi sewaktu-waktu Tuhan memanggilnya adalah jalan yang benar. Namun, dia tidak menyangka, Fatih menolak mentah-mentah permintaannya. Padahal, Rahma yakin Dinar tetap memiliki tempat di hati suaminya meski Fatih tidak pernah membahasnya.

Cinta pertama bukan sesuatu yang bisa dilupakan begitu saja.

Tapi, kenapa Fatih menolak? Apa itu hanya karena gengsinya sebagai laki-laki?

"Aku tahu, poligami diizinkan dalam Islam, Rahma. Tapi, bukan berarti itu bisa dilakukan sesukanya. Harus ada alasan syar'i dan syaratnya harus adil. Aku tidak berpikir, aku bisa adil dan aku tidak memiliki alasan syar'i untuk itu. Kamu masih hidup, Sayang ... kenapa kamu bersikap seolah-olah besok kamu benar-benar mati? Kamu menyakiti hatiku."

Fatih mencoba berbicara dari hati ke hati dengan Rahma. Perempuan itu tahu bahwa suaminya sudah berusaha keras menahan diri untuk tidak menggunakan nada tinggi dalam menghadapinya yang sedang sakit saat ini.

"Uhuk, uhuk ... Kenapa gak ada alasan, Mas? Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, nikahilah perempuan yang kamu sukai dua, tiga, empat. Kamu menyukai Dinar, aku sakit dan gak akan hidupku lama lagi. Aku butuh Dinar buat bantu aku melayanimu dan menjaga Rumi. Apa itu gak cukup?"

Tekanan bathin membuat Rahma terbatuk-batuk. Ada dahak darah yang keluar bersamaan dengan itu, mimisan juga turun dari hidungnya. Fatih menggertakkan giginya karena tidak bisa menyangkal bahwa istrinya memang sakit keras saat ini. Dia mengambil tisu kemudian memberikan pertolongan pertama untuk Rahma.

"Rahma, kalau kamu kayak gini karena ucapan dokter yang bilang, hidupmu gak lama lagi sampai-sampai kamu tertekan dan kepikiran ... aku katakan sekarang, aku tidak apa-apa. Aku tidak butuh istri lagi untuk bisa menjaga Rumi. Dan Dinar ... tolong, jangan sebut namanya lagi. Itu mustahil ... Aku memang menyukainya dulu, tapi sekarang mendengar namanya saja hatiku sakit. Aku minta, jangan tempatkan aku di posisi sulit. Aku hanya mencintaimu, Rahma ... hanya kamu. Sampai kamu mati, aku cuma mau kamu jadi satu-satunya."

Fatih menggenggam tangan Rahma erat dan mengecupnya.

Di titik itu, hati mereka sama-sama berdenyut nyeri. Namun, Rahma masih tidak tenang. Apalagi tepat setelahnya Rumi menangis dan Fatih berusaha menenangkannya, dia lebih merasa sakit.

Sekarang saja Fatih sudah terlihat sangat kelelahan mengurusi dirinya dan Rumi. Jika dia benar-benar mati, dia tidak bisa membayangkan seberantakan apa Fatih nanti.

Rahma berusaha turun dari ranjang dan mengambil alih Rumi dari Fatih. Dia menenangkan Rumi dengan menggendongnya dalam posisi duduk karena dia tidak tahan lama-lama berdiri.

"Mas ... jika Mas gak mau melakukannya untukku, lakukan itu untuk Rumi. Rumi gak biasa ikut orang lain selain kita berdua, Mas. Dia juga sering menangis padahal kita yang jaga. Tapi, Mas inget kemarin pas ketemu Dinar? Rumi baru pertama kali ketemu Dinar, tapi dia bisa ketawa. Iya, kan, Rumi? Rumi suka tante Dinar ya? Tante Dinar orang yang baik dan cantik, iya, kan? Rumi bisa ngerasain itu, kan?"

Rahma membaringkan Rumi di pangkuannya setelah anak itu tenang. Anehnya, meski sisa-sisa air mata bayi itu masih ada, dia menyunggingkan senyumnya setiap kali mendengar nama Dinar. Kini, perlahan mata Rahma yang berkaca.

"Jadi, tolong ... izin aku melamar Dinar untukmu, Mas," ujar Rahma dengan pelan.

Fatih sudah merasa kehilangan kekuatan sendirinya untuk berdiri. Dia pun terduduk di kursi terdekat dan menghela napas kasar.

"Abah dan Mbahnyai pasti gak akan mengizinkannya."

Ucapan Fatih membuat hati Rahma bertambah berdenyut, tetapi dia berusaha menguatkan diri.

"Aku yang akan bicara dengan mereka."

Tapi, Fatih kembali menjatuhkan mentalnya.

"Dinar pasti menolaknya."

"Dia pasti mau melakukannya kalau tahu aku sekarat."

Rahma mengeluarkan senjata terakhirnya. Fatih bahkan sampai tak bisa berkata-kata, sampai akhirnya dia beristighfar.

"Astaghfirullahaladzim, Ya Allah ... istri orang lain takut suaminya poligami, tapi istriku malah memintanya."

Saat itu, Rahma membalas, "Ini demi kebaikan kita, Mas."

Fatih menggeleng. Dia mengambil Rumi dari pangkuan Rahma lalu mengakatan, "Bukan kita, tapi kamu, Rahma."

Deg! Deg!

Fatih pergi dengan meninggalkan perasaan berdenyut di hati Rahma. Namun, keputusan Rahma sudah bulat. Walau dia tahu, ini adalah keegoisan, dia berpikir, setidaknya ini adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan untuk keluarganya. Dia merasa hidupnya sungguh tidak lama lagi.

Bersambung~

Alhamdulillah dapet flyer dari penerbit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alhamdulillah dapet flyer dari penerbit. 😁

Oh iya, bagi temen-teman yang kesulitan beli ebook di playstore/playbook, aku juga menyediakan ebook buat dibeli secara manual lewat whatsapp. Bisa buka link naimaadida.carrd.co buat terhubung ke whatsapp ya.

Dinar : Telaga Kedua (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang