Part 16 - Keputusan Buru-Buru

3.9K 249 8
                                    

Dinar pulang ke rumah dengan perasaan buruk. Meskipun dia sudah berzikir sepanjang jalan, tetap saja pertemuan dengan Farida membuatnya merasa tidak tenang. Namun, dia benar-benar tidak boleh kalah sekarang. Dia harus tetap kuat jika tidak ingin adiknya terjebak dalam kukungan Farida. Akan tetapi, keberanian dan tekad yang sudah susah payah dia kumpulkan itu menguap cepat saat dia bertemu dengan Ihsan.

"Paman masih harus ke pengacara dulu? Terus kapan masalah ini bener-bener diurus, Mbak? Kalau gak cepet-cepet aku beneran bakalan gak bisa kuliah."

Ihsan berkata seperti itu setelah Dinar menjelaskan hasil pertemuan dengan pamannya. Hati Dinar merasa sesak, bukan karena dia sakit karena Ihsan terlihat kecewa padanya, tetapi dia merasa sakit melihat adiknya yang bingung dan putus asa.

Dinar menarik napas panjang dan menelan ludahnya susah.

"Yang sabar ya. Masih sebulan kok. Insya Allah, nanti bisa cepet kalau ikutin arahan pengacara. Kamu berdoa aja ya."

Dia berusaha menenangkan adiknya. Namun, sehebat apapun kata-kata yang dia keluarkan, dia tahu itu tidak akan cukup untuk membuat adiknya lega.

"Seandainya udah pake pengacara pun gak bisa, gimana, Mbak? Apa aku bener-bener gak bisa kuliah?"

Suara Ihsan mulai bergetar.

"Kalau aku gak kuliah, gimana masa depanku nanti? Apa aku harus kerja serabutan kayak sekarang?" tanyanya.

Ihsan lalu menggelengkan kepala.

"Maksa ikut seleksi lagi di jalur mandiri juga gak mustahil. Terlalu mahal. Mau gap year juga gimana? Apa ada jaminan kalau aku ikut seleksi tahun depan gak dituduh curang lagi?"

Ihsan memegang kepalanya frustrasi.

"Argh, hancur sudah. Aku bener-bener gak punya masa depan sekarang. Hiks, padahal aku udah janji sama Mbak mau ngehidupan Mbak nanti. Aku malah jadi menyedihkan kayak gini. Hiks, maafin aku, Mbak."

Pada akhirnya, Ihsan meminta maaf lagi dan menyalahkan dirinya. Hal itu membuat hati Dinar kian teriris-iris. Dia pun ingin ikut menangis.

Jika saja Ihsan bukan adiknya, apa dia tidak akan mengalami hal seperti ini? Jika saja dia bukan kakaknya, apa Ihsan bisa menjalani kehidupan normal dengan lebih baik?

Dinar hanya merasa buruk dan kian buruk. Dia lantas meraih lengan Ihsan dan mengelusnya.

"Dek … kenapa minta maaf? Difitnah itu bukan kemauanmu, kan? Dan kuliah bukan segalanya. Kalau memang, seandainya setelah kita berusaha dan hasilnya gak sesuai harapan, gak papa. Mungkin, Allah pengen kamu lebih siap lagi sebelum masuk kuliah. Jadi, harus belajar lagi buat ikut seleksi tahun depan. Makanya, jangan mikir yang gak-gak. Gusti Allah itu berdasarkan prasangka seorang hamba terhadap-Nya. Wajib bagi kita tetap berbaik sangka padanya. Meskipun kadang takdirnya memang terasa menyakitkan. Tapi, yakin ... Allah punya rencana yang lebih baik."

Mendengar nasehat kakaknya, Ihsan mengusap air mata.

"Aku tahu gak seharusnya aku kayak gini, Mbak. Tapi, rasanya sakit. Aku udah lolos seleksi, udah mau dapet beasiswa juga. Tapi, dengan kejamnya Allah merenggut itu sekedipan mata. Sakit, Mbak. Kalau aku dari awal gak lolos seleksi, mungkin aku gak akan sesedih ini."

Dinar mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Iya, Mbak paham. Mbak juga ngerti perasaanmu kayak gimana. Tapi, walaupun ini sulit, kamu harus sabar, ikhlas. Kita ikhtiar bareng-bareng."

Ihsan lalu meraih Dinar dan menangis dalam diam di pundaknya.

Walaupun mereka tidak selalu hidup bersama, tapi bagi Ihsan, Dinar adalah tempat bersandarnya. Dialah orang yang terdepan membelanya bahkan di depan ayah mereka sendiri apalagi di depan orang lain. Dinar sangat menyayanginya dan dia pun sangat menyayangi Dinar.

Dinar : Telaga Kedua (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang