Sorak sorai penonton terdengar riuh kala itu. Siang itu pertandingan basket benua. Aku dan kedua temanku memutuskan untuk memberi tim sekolah kami semangat. Pertandingan berlangsung seru, tim sekolah kami lebih unggul 1 poin dibanding tim lawan. Aku memperhatikan benua dengan peluh yang membasahi pipi. Waktu pertandingan tak berlangsung lama lagi, karena kali ini adalah babak penentuan antara menang atau harus pulang tanpa membawa apapun.
Bola basket itu diambil alih benua. Kala itu aku merasa sedikit takut jika bola itu akhirnya meleset, tidak hanya aku suasana pun berubah menjadi tegang begitupula kia dan citra yang tengah fokus dan berharap tim sekolah kami akan menang. Benua mendrible bola dan pada jarak yang telah ditentukan ia melempar bola itu ke ring. Dan..
Happ
Bola akhirnya masuk ring. Kami semua serentak bersorak, suasana yang awalnya tegang menjadi riuh. Benua dengan wajah puasnya kemudian menoleh ke arahku dengan tangannya yang mengepal mengisyaratkan kalau ia telah berhasil. Aku tersenyum lebar sembari mengacungkan kedua ibu jariku menandakan kalau ia sudah hebat hari ini.
"Oke, pertandingan kali ini dimenangkan oleh SMA Nusa Pelita," seru wasit. Teriakan orang-orang bertambah keras.
"Gila keren sih," seru Kia
"Iya, alden hari ini keren banget," citra menimpali
Aku menoleh ke arah citra dan menggelengkan kepala terheran melihat citra yang saat ini tengah terhipontis pesona alden. Gadis yang satu ini memang yang paling bersemangat bersorak sejak awal pertandingan, dan anehnya stok suara nya masih banyak hingga sekarang.
Pertandingan selesai orang-orang mulai keluar dari lapangan. Namun, aku masih mencari-cari benua yang sudah tidak ada di tempatnya mataku terus menyusuri area lapangan yang luas. Pandanganku menyipit terhadap seorang perempuan yang tengah tersenyum lebar, dengan jarak yang lumayan jauh dia berdiri disampingku. Wajahnya sempat menoleh namun mata kami tak sempat bertemu, hanya aku yang menyadari kehadiranya. Dia tidak. Rea. Perempuan yang ku temui malam itu. Dia tersenyum manis dengan mata yang berbinar. Entah, aku hanya merasa tidak nyaman kali ini. Tak selang lama, muncul benua dengan seragam lengkapnya. Dia berjalan ke arahku, namun ketika jaraknya telah cukup dekat rea mencegatnya. Mereka berbincang satu sama lain dengan akrab sampai pada akhirnya rea menyalami tangan benua, mungkin untuk ucapan selamat. Aku memutuskan pandanganku dari mereka dan lebih memilih memusatkan perhatianku ke arah lain.
"Eng.. guys, gue kayaknya harus pergi deh," ucap kIa tiba-tiba.
"Mau kemana ?" tanya citra.
"Ada janji, udah dulu ya bye" balas kia langsung pergi begitu saja.
"Dih, tuh anak belum juga selesai ngomong juga, eh tapi janji sama siapa ya kira-kira?" tanya citra menoleh ke arahku seakan meminta jawaban. Aku tak bersuara hanya mengedikan bahu saja.
Di saat yang bersamaan tiba-tiba muncul alden dan benua menghampiri kami. Tampaknya obrolan rea dan benua telah selesai, tampak gadis itu yang telah pergi. Keduanya semakin mendekat dan menunjukan wajah sumringahnya.
"Beb, kamu keren hari ini," seru citra
"Iya dong, aku jadi semangat karena ada kamu" balas alden mengacak rambut citra gemas. Aku tidak melihat citra yang terkadang memasang tampang galak, sejak kedatangan alden aku seperti melihat orang lain di diri citra.
"Ekhm... aku keren nggak ya hari ini?"
Aku yang masih merasa aneh dengan kelakuan citra langsung tersadar.
"Hah?" tanyaku dengan wajah linglung. Benua seperti menahan senyumnya lantas wajahnya mendekat ke arahku.
"Aku keren nggak hari ini?" bisik benua di telingaku membuatku meremang,
"Kamu keren setiap hari," bisik ku menirukan benua.
Kami tak dapat menyembunyikan senyum kami berdua.
"Ekhm,"
"Kayak nya ada yang mau nyaingin kita bucin deh, beb?"
"Pergi aja yuk?"
"Yuk"
Citra dan alden yang langsung saja meninggalkan kami kala itu.
Benua menengadahkan tangannya. "Pulang?"
Aku menaruh tanganku diatas tangannya yang kemudian langsung digenggam erat oleh benua."Pulang"
****
Benua mengendarai motornya pelan. Hari itu dia tak langsung mengantarku pulang, dia membawaku mengitari jalanan kota pada sore yang cerah. Udaranya segar. Aku sesekali menghirup nafas lega. Mengelilingi kota tanpa tujuan yang jelas dengan benua terasa lebih nyaman ketimbang biasanya. Terkadang kami berbincang, menertawakan sesuatu yang sama sekali tak lucu bagi kebanyakan orang. Semua ini menyenangkan. Waktu tak terasa kian cepat berlalu, hari yang hampir senja itu membawa kami ke permberhentian terakhir hari itu. Pantai dengan langit cantiknya. Benua turun dari motornya menyeret tanganku untuk mengikutinya. Kami menjatuhkan diri kami duduk di pinggir pantai menikmati ombak yang tengah surut. Bibirku melengkung membentuk senyum.
"Langitnya cantik," ucapku sembari menghirup udara pantai.
"Tidak ada yang lebih cantik selain senja dan lifana," tutur benua membuat pipiku bersemu merah. Aku yang tak ingin larut dalam rayuanya langsung cepat-cepat memasang wajah netral. Kami sama-sama terdiam, mendengarkan suara deburan ombak yang datang. Aku masih menatap langit dengan mata yang berbinar langit berawarna jingga kian menghiasi pantai sore itu.
"Nggak tau kenapa, ketika menatap langit aku ngrasa lebih tenang," lirihku.
"Seperti sekarang?"
Aku mengangguk. Kembali tidak ada percakapan diantara kami untuk beberapa saat.
"Mamah kamu gimana? Udah sembuh?"
"Udah "
"Syukurlah"
"Tapi, nggak sama hatinya"
"Maksud kamu?"
"Kami sama-sama punya luka, aku kira selama ini aku yang paling sakit tapi ternyata mamah jauh lebih sakit..."
"Aku egois, aku selalu cari cara buat nyembuhin luka aku sendiri. Tapi, aku nggak pernah memikirkan mamah"
"Aku nggak begitu paham masalah kamu, na. Tapi, aku rasa kamu adalah satu-satunya obat untuk mamah kamu sendiri..." Benua menarik nafas sebentar. "Dan untuk jadi obat yang bisa menyembuhkan orang lain, terlebih dulu kita harus benar-benar sembuh," sambungya kemudian.
"Aku nggak akan pernah sendirian kan, nu?"
"Kamu nggak akan pernah benar-benar sendirian untuk sekarang dan seterusnya," tutur benua membuatku sedikit lega.
"Kamu nggak akan pergi kan, nu?"
Benua menghela nafas dengan mata yang terus menerawang ke depan.
"Kamu itu rumahku na, gimana bisa seseorang ninggalin rumah yang sudah membuatnya hangat hingga sekarang?"
Aku tersenyum. Ini artinya benua memang tidak akan pernah pergi kan?. Mengetahui itu aku benar-benar tenang. Perlahan tanganku mendekat ke arah tangan benua untuk menggenggamnya jadilah saat itu kami duduk dengan salah satu tangan menggengam satu sama lain. Terimakasih karena sudah hadir, batinku saat itu.
"Na, mungkin tahun depan kita nggak bisa ketemu sesering sekarang..." benua menggangtungkan ucapannya "Jadi, mari kita lakukan banyak hal yang bisa kita lakukan sama-sama"
Aku tersenyum tipis. Benua perlahan mendekat mengecup keningku pelan. Mataku terpejam, rambut yang terurai beterbangan. Dibawah langit yang sedang cantik-cantiknya kami menyaksikan matahari yang perlahan turun dan menghilang, hari itu benua berjanji tidak akan pernah meninggalkan rumahnya. Dia akan kembali sejauh apapun angin membawanya pergi, katanya. Aku menghirup nafas panjang. Senja kali ini menjadi berkali lipat cantiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENUA dan HUJAN (ON-GOING)
Teen FictionTentang kehadiran seorang laki-laki yang mampu memberi ruang aman untuk gadis bernama Lifana. Sejak saat itu ketakutan masa lalu tak lagi menjadi sesuatu hal yang mengerikan. Karena dengan kehadirannya mampu memberikan Lifana sebuah tempat aman untu...