🌛 16

44 21 14
                                    

Hiruk pikuk kota menjadi pemandangan yang masih ku saksikan. Halte jadi tempat pilihan untuk singgah setelah lama aku berjalan tak tentu arah. Aku masih tidak ingin untuk kembali ke rumah itu. Meskipun langit bertambah gelap aku masih ingin berada di tempat ini untuk sendirian walau hanya menatap kosong ke arah jalanan kota yang tidak pernah lengang. 

"Lifana?"

perlahan ku lihat ke arah seseorang yang memanggilku. Mataku menangkap benua sedang berdiri tak jauh dari motornya dengan seragam sekolah yang masih lengkap. Tampaknya dia baru saja pulang dari sekolah. Aku tak menghiraukan Benua yang kian mendekat ke arahku.

"Kamu kenapa disini?" tanya Benua yang ikut duduk disampingku dengan aku yang tetap terdiam dan menatap ke arah lain.

"Na?" panggilnya lagi.

Benua kemudian mengecek suhu badanku dengan punggung tangannya. "Kamu sakit?" Aku menahan tangan Benua dan menyingkirkan tangan itu pelan.

"Aku baik-baik aja," kata ku dengan suara yang parau.

"Aku antar kamu pulang," kata nya dengan menarik tanganku. Sebelum dia berhasil menariku menuju motornya yang terparkir di depan halte, aku menahan pergerakannya.

"Jangan..." cegah ku pada Benua yang lalu menautkan alisnya.

"Kenapa?"

Aku menggeleng lemah.

"Gue masih mau disini," tutur ku pada Benua.

Dia lantas diam seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Tak lama setelah itu ada senyuman yang terbit dari bibirnya.

"Ya udah, aku temenin kamu disini," tuturnya lagi sambil menggenggam tanganku dengan satu tangannya.
Seperti itu lah kami berdua sekarang, duduk berdampingan ditengah halte yang sudah sepi dan hanya dihiasi keramaian jalanan kota dengan hilir mudik kendaraan yang tidak pernah berhenti. Sebenarnya aku benci menjadi seseorang yang terus berada dalam lingkaran ketakutan dan tidak pernah bisa keluar. Aku ingin sembuh. Aku ingin memulai hidup seperti tidak pernah terjadi apa-apa. 

"Pulang aja nggak apa-apa kok," perintahku pada Benua.

"Nggak, Aku nggak akan biarin kamu sendirian disini,"

Aku melirik Benua sekilas dan menarik tanganku yang masih berada di genggaman nya itu.

"Nugra nggak nganterin kamu sampai rumah?"

"Sampai rumah kok," elakku cepat.

"Terus kenapa sekarang di sini?"

"Kan gue bilang pengen," jawabku sedikit ketus.

"Tunggu sini bentar," balas Benua yang langsung pergi dengan motornya entah kemana. Aku berpura-pura tak menghiraukan kepergian nya. Selepas dia pergi ke tempat yang sama sekali tidak ku ketahui, Aku tersenyum tipis, kehadiran Benua sejak tadi membuat suasana hatiku mulai membaik. Tak selang lama sekitar 15 menit setelahnya, Benua kembali dengan sebuah kantong plastik di tangannya. Aku tebak, mungkin saja dia lapar dan memutuskan untuk membeli makanan. Benua memposisikan duduk disampingku lagi dengan senyuman yang terus menghiasi bibirnya.
Sedangkan aku memilih untuk tetap acuh terhadap nya.

"Nih," kata Benua menyodorkan sebuah eskrim.

"Katanya makanan manis bisa naikin mood, karena kamu nggak suka coklat, aku beliin redvelvet," tuturnya dengan tangan yang masih menyodorkan eskrim.

Aku menerima eskrim itu dari tangannya.

"Kok bisa tau gue nggak suka coklat?"

Dia hanya diam dan mengedikan bahunya lantas tak lama setelah itu eskrim yang masih belum terbuka ia ambil  kembali untuk kemudian dibukanya bungkusan eskrim itu.

BENUA dan HUJAN (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang