"I miss you, so much," bisik pria itu, yang membuat seluruh organ tubuhnya mendadak tidak berfungsi. Rossaline bahkan tidak sadar, kapan pria itu memeluk dirinya seperti sekarang.
Rossaline bahkan sampai mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba meyakinkan dirinya jika ia sedang tidak berhalusinasi, tapi Rajendra yang memeluknya semakin erat sudah menjelaskan jika semua ini adalah nyata.
Rossaline tidak dapat menutupi jika dirinya sangat senang, ia juga yakin jika kedua pipinya sudah sangat merah seperti kepiting rebus.
Pesona Rajendra Alister memang tidak main-main, dan Rossaline mengakui itu. Sejak malam di mana ia dan Rajendra makan mi instan bersama, perasaan Rossaline selalu berdebar kala mengingat malam itu, walau pada akhirnya ia merasakan kecewa Rajendra hanya memainkan perasaannya.
Rossaline berdeham keras, Rajendra refleks melepaskan pelukan eratnya pada Rossaline.
Wajah pria itu tampak sangat keberatan melepaskan pelukannya. Rajendra menatapnya dengan sendu, "Kau tidak merindukanku?" tanyanya tiba-tiba.
Rossaline kembali berdeham, tenggorokannya tiba-tiba terasa sangat kering. Demi Tuhan, jika ia tidak memegang gagang pintu, tubuhnya akan meluruh ke lantai. Sial! Bagaimana bisa Rajendra membuatnya seperti ini.
"Apa keluhanmu? Aku datang kemari, karena dokter Inggrid tidak bisa datang," katanya, mencoba menghindari pertanyaan ambigu yang keluar dari mulut Rajendra.
Rajendra mendelik kesal, menyiratkan ketidaksukaan atas ucapan wanita itu. "Kau tidak merindukanku?" tanyanya lagi, pria itu seakan tidak menyerah untuk mempertanyakan hal itu.
"Melihat Anda seperti ini, sepertinya Anda baik-baik saja," katanya yang lagi-lagi membuat Rajendra semakin kesal.
Pria itu mengusap wajahnya kasar, menatap Rossaline lekat, mendalami netra coklat miliknya. "Kau sungguh tidak merindukanku?"
Rossaline bergeming, seraya membuang wajah ke arah lain. Enggan menatap Rajendra yang sudah mengacaukan denyut jantungnya. "Aku permis--"
"Rossaline!" pria itu berseru dengan sedikit keras. Ia kesal karena Rossaline mengabaikannya.
Rajendra menyugar rambutnya dengan frustrasi. "Apa hanya aku yang tidak bisa tidur, karena tidak bisa melihat wajahmu selama beberapa hari?" tanyanya, sembari memegang kedua pipi Rossaline, dan menghadapkan wajah itu kepadanya. Ia masih memandang netra coklat itu dengan lembut, tersirat kegelisahan, dan kerinduan di balik tatapan matanya.
Jantung Rossaline terus berpacu dengan cepat, kedua matanya bertemu dengan netra coklat milik Rajendra. Ia menahan bibirnya untuk tidak tersenyum karena ucapan Rajendra. Ia tidak boleh salah paham, mungkin saja yang Rajendra maksud merindukannya karena mereka sering beradu mulut, bukan karena pria itu memiliki perasaan kepadanya.
"Tuan Rajendra, saya harus pamit,"
Rajendra menggeleng tegas, tangannya masih menangkup kedua pipi Rossaline. "Demi Tuhan Rossaline, I really miss you so bad!" tegasnya.
Rajendra tidak bohong. Setelah pertemuan terakhirnya dengan Rossaline, ia selalu gelisah. Sejak awal, Rajendra mengakui jika dirinya telah tertarik kepada Rossaline. Setiap hari, ia harus menyingkirkan pikiran buruknya, soal Rossaline. Ia cemburu kepada dokter yang saat itu bercanda dengan Rossaline di kafetaria rumah sakit.
Ia tidak dapat membayangkan seberapa sering Rossaline bertemu, dan tertawa dengan dokter pria itu. Sampai ia harus mengumpat, dan menyalurkan kekesalannya kepada Angga.
Selama beberapa hari ini, ia sibuk dengan pekerjaannya di Alister Company. Demi Tuhan, setiap hari ia sangat ingin kabur, dan menemui Rossaline. Tapi, ia tidak bisa meninggalkan semua pekerjaan penting itu.
Rajendra juga sama gelisahnya dengan Rossaline.
"Rajendra, aku--"
Rajendra memejamkan mata, mencoba tidak mengumpat di hadapan wanita ini. "Rose--arrggh!" Rajendra tiba-tiba melepaskan tangkupannya pada wajah Rossaline, pria itu tiba-tiba saja memegangi kepalanya.
Rossaline langsung panik. Ia menjatuhkan kotak obat itu begitu saja di atas lantai, ia lantas menopang tubuh Rajendra yang terlihat hampir jatuh. "Rajendra, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan penuh khawatir.
Rajendra tidak menjawab, Rossaline segera memapah tubuh Rajendra ke tempat tidur. Setelah memastikan Rajendra sudah duduk nyaman di ranjang, ia hendak berjalan mengambil kotak obat yang ia jatuhkan, dan hendak memeriksa keadaan Rajendra. Namun, Rajendra menahan tangannya.
"Rajendra, aku akan--"
"Aku menyukaimu," kata pria itu.
Rossaline mematung di tempat, lagi-lagi seluruh organ tubuhnya tidak berfungsi, kecuali jantungnya yang berdebar semakin kencang.
"Rajendra, kau harus segera di obati!" Rossaline mencoba berpikir jernih, dan meyakinkan dirinya bahwa ia salah dengar.
"Rose!" bentak Rajendra. Rossaline yang semula memberontak hendak melepaskan dirinya dari cekalan lengan Rajendra, tiba-tiba berhenti.
Rossaline mendengkus pelan, "Kau mau bercanda lagi denganku? Sayangnya, aku tidak punya waktu. Aku harus pergi--"
"Aku serius," sela Rajendra. Rossaline menatap mata pria itu, mencoba mencari kebohongan dimata pria itu, namun nihil.
Rossaline mengerjapkan matanya, kemudian berdeham. Ia mati kutu! Tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Rajendra sialan! Pria itu sudah membuatnya sangat tidak berdaya seperti ini.
"Rose," pria itu memanggilnya dengan lembut.
"Wajahmu pucat Rajendra, aku harus memeriksamu," lagi-lagi, ia hanya bisa mengalihkan topik pembicaraan.
Rajendra menggeleng tegas. "No! Kau harus menjawab semua pertanyaanku dulu!"
Rossaline mengembuskan napas, "Pertanyaan yang mana?"
"Kau merindukanku, atau tidak?"
Rossaline mengumpat dalam hati. Sial! Apa ia harus menjawabnya dengan jujur? Ya Tuhan, ia berharap Angga segera datang. Kenapa pria itu keluar lama sekali, sih?
"Tidak," singkatnya.
Rajendra menaikkan sebelah alisnya, "Sungguh?" Rajendra mencoba meyakinkan apa yang di ucapkan Rossaline barusan.
Sedangkan Rossaline mati-matian mempertahankan ekspresi wajahnya sedatar mungkin. Kemudian ia mengangguk, "Aku sudah menjawab pertanyaanmu, sekarang waktunya aku--Rajendra!" Rossaline tiba-tiba saja memekik saat Rajendra menarik tubuhnya, hingga ia duduk di pangkuan pria itu.
"Rajendra, apa yang kau lakukan?"
Rajendra menatap Rossaline lekat, "Sungguh, kau tidak merindukanku?" tanyanya tanpa bosan.
Rossaline tidak menjawab wanita itu mencoba berontak, dari tangan Rajendra yang memeluk pinggangnya. Sialan! Ini sangat berbahaya baginya, jantungnya berpacu semakin cepat. Wajah ia dan Rajendra saling berhadapan, dengan jarak yang sangat tipis. Ia bahkan bisa merasakan embusan napas pria itu.
"Bye the way Rose, kenapa wajahmu merah sekali?" bisik Rajendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penakluk [PROSES PENERBITAN]
RomanceBEBERAPA PART TELAH DI HAPUS UNTUK PROSES PENERBITAN #1 Betrayal (20/06/2023) #1 Krystal (15/04/2023) #3 Alister (19/08/2022) #11 Conflict (22/08/2022) #5 Rajendra (03/09/2022) #1 Betrayal (13/06/2023) #6 Completed (25/11/2022) #4 Jakarta...