Rossaline segera menyambar tasnya, begitu ia masuk ke dalam ruangannya, setelah memasukkan barang-barang bawaannya, seperti charger, dan earphone miliknya. Ia akui, kali ini ia sangat tidak profesional, dengan tidak bisa memisahkan antara pekerjaan, dan masalah pribadi.
Ia tidak bisa terus berada di sini, melihat bagaimana paniknya wajah Rajendra di depan ruang UGD menunggu Agatha.
"Rose? Kau mau ke mana?" tanya Sera, ia dan Tristan berinisiatif menyusul Rossaline.
Rossaline menghentikan langkahnya, menatap kedua orang di hadapannya dengan sendu, dan wajah yang pucat. "Tristan, maaf hari ini aku tidak bisa bekerja dengan baik," lirihnya, lagi-lagi bulir air mata membasahi wajahnya.
Sera mendekat, dan menyentuh kedua bahu Rossaline. "Kau sakit, Rose?" tanyanya.
Rossaline menggelengkan kepalanya, "Hatiku yang sakit," gumamnya.
Sera menatap Tristan, seolah meminta penjelasan dari kekasihnya tentang maksud ucapan Rossaline. Namun, Tristan mengangkat bahu, pertanda jika ia juga tidak mengerti sama sekali.
"Kau mau pulang?" tanya Sera lagi.
Rossaline mengangguk. "Maaf ya Tristan, aku--"
"Kau bisa pulang Rose. Beristirahatlah," sela Tristan.
Baik Sera, dan Tristan keduanya sama- sama khawatir dengan perubahan sikap Rossaline. Bagaimana tidak, wanita yang kesehariannya cukup ceria, usil, dan banyak berbicara itu, berubah menjadi seperti ini, seolah salah satu organ tubuhnya di cabut paksa darinya.
"Aku akan mengantarmu pulang," ucap Sera.
Rossaline menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, aku sudah memesan taksi," dustanya. Ia sebenarnya tidak berniat untuk pulang ke apartemen.
Sera menatap sahabatnya itu dengan cemas, "Kau yakin?"
Rossaline kembali mengangguk, lalu memberikan senyum tipis kepada Sera.
"Aku tidak tahu, hal apa yang membuatmu seperti ini. Tapi, aku berharap semuanya segera selesai, dan kau kembali seperti semula," papar Sera.
Rossaline mengangguk lagi, seolah tidak memiliki tenaga untuk menjawab ucapan Sera.
Kemudian Sera melepaskan kedua tangannya dari bahu Rossaline, dan bersamaan dengan itu, Rossaline dengan gontai berjalan meninggalkan pasangan itu yang masih berada di ruangannya.
Ia berjalan pelan, dengan kepala yang tertunduk, memutar arah agar tidak melewati ruang UGD, menghindari bertemu sosok Rajendra yang sangat ingin ia jauhi saat ini.
Bruk!
Tiba-tiba saja tubuhnya menabrak tubuh seseorang dengan tubuh tegak. Ah, ia tidak sadar jika sudah berada di lobi rumah sakit.
"Nona, kau tidak apa-apa?" tanya pria itu.
Rossaline mundur selangkah, dan menatap pria yang barusan ia tabrak dengan tidak sengaja. "Ah, aku baik-baik saja. Aku sungguh minta maaf," ucapnya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan kening yang mengernyit, melihat tampilan wanita di hadapannya yang terlihat kacau. Masih ada jejak air mata yang basah di pipinya, dan mata yang memerah.
Rossaline, mengangguk. Namun, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing. Ia nyaris terjatuh, jika saja sosok pria di hadapannya tidak menggapai pinggangnya.
"Nona, kau sepertinya butuh istirahat. Bagaimana jika kita ke cafe seberang rumah sakit dulu?"
Rossaline hendak menolak, tapi kepalanya sudah sangat pusing. Ya, sepertinya minum kopi bukanlah hal yang buruk.
"Bagaimana?" tanya pria itu lagi, yang kini perlahan melepaskan pinggang Rossaline, setelah wanita itu terlihat cukup berdiri dengan tegak.
Ia mengangguk, dan berjalan beriringan dengan pria yang belum ia ketahui namanya ini. Pria itu membantunya menyeberang jalan untuk sampai ke cafe, dan setelah mereka sampai, pria itu membukakan pintu untuknya, dan juga menarik sebuah kursi kosong untuknya.
"Kau ingin pesan apa?" tanyanya.
"Caramel latte," ucapnya.
Pria itu memanggil sang waitress, dan memesan satu kopi Caramel latte, dan iced americano.
Kini, ia dan pria itu sama-sama diam sambil menunggu pesanan mereka datang.
"Ah tuan, siapa nama anda?" tanya Rossaline tiba-tiba. Bagaimana pun, ia perlu tahu nama pria yang sudah membantunya.
Pria itu tersenyum, "Karel Alister," ucapnya, yang membuat kedua bola mata Rossaline membulat.
"Alister?"
Pria di hadapannya mengangguk.
"Berarti, kau adalah--"
"Iya, aku kakak dari Rajendra Alister, kekasihmu," selanya.
Lagi-lagi mata Rossaline melebar. Gila! Kenapa hari ini penuh dengan kejutan? Ia bahkan tidak tahu jika Rajendra memiliki seorang kakak, dan fakta lainnya adalah pria bernama Karel itu mengetahui hubungannya dengan Rajendra.
"Tapi, bukankah Rajendra adalah--"
"Aku memang nyaris tidak pernah tampil di media. Mama, dan Papa juga tidak memaksaku tampil di depan umum," paparnya.
Rossaline memijat pangkal hidungnya. Rajendra tidak pernah sedikit pun bercerita tentang keluarganya sama sekali, ia tertawa dalam hati. Hubungan macam apa yang tengah ia jalani bersama Rajendra? Kenapa ia bahkan sama sekali tidak tahu apa pun mengenai kekasihnya sendiri?
Kopi pesanan mereka sudah tiba, baik Karel, dan Rossaline sama sekali belum berniat menyentuhnya.
"Dan bagaimana kau tahu, jika aku dan Rajendra memiliki hubungan?" tanya Rossaline.
"Itu adalah hal yang mudah, Rossaline," jawabnya.
Rossaline mengangguk. Ya, memangnya apa yang tidak bisa di lakukan oleh keluarga Alister?
"Jadi, kedatanganmu kemari tentu bukanlah suatu kebetulan, kan?"
Karel terkekeh pelan, ya Rossaline menebaknya dengan benar.
"Apa kau memintaku untuk menjauhi adikmu?"
Karel menggelengkan kepalanya, "Bukan," jawabnya singkat. Ia lalu menghela napas, dan menatap Rossaline. "Kau bisa memanfaatkan aku, jika kau terdesak," ucap Karel, setelah sebelumnya ia melihat wajah adiknya muncul di berita, beserta Agatha di rumah sakit.
Bagaimana bisa adiknya melakukan itu, di rumah sakit tempat Rossaline bekerja?
Seharusnya hari ini, ia menemui Rossaline di rumah sakit bersama ibunya. Namun, kebetulan ayahnya baru saja tiba di kediaman mereka, jadi ia tidak bisa datang, karena merengek mengadukan apa yang telah di lakukan Rajendra bersama Agatha.
Rossaline tersenyum tipis, "Memanfaatkan apa maksudmu?" tanyanya tidak mengerti. Ia merasa telah di permainkan oleh Rajendra, dan merasa dirinya sangat konyol.
"Kau akan membutuhkanku suatu saat," jawabnya. Lalu ia meletakkan selembar uang seratus ribu di bawah cangkir kopi, yang sama sekali tidak tersentuh.
Rossaline menatap nanar sosok Karel yang meninggalkannya sendirian. Kemudian seorang security menghampirinya sembari membawa secarik kertas.
"Nona, pria barusan memerintahkan saya, untuk memberikan ini kepada anda,"
Rossaline menerima kertas itu, dan mengucapkan terima kasih. Ia menatap kertas yang berupa kartu nama Karel, beserta nomor telepon pria itu di sana.
Apakah ia bisa mempercayai Karel?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penakluk [PROSES PENERBITAN]
RomanceBEBERAPA PART TELAH DI HAPUS UNTUK PROSES PENERBITAN #1 Betrayal (20/06/2023) #1 Krystal (15/04/2023) #3 Alister (19/08/2022) #11 Conflict (22/08/2022) #5 Rajendra (03/09/2022) #1 Betrayal (13/06/2023) #6 Completed (25/11/2022) #4 Jakarta...