Rossaline tidak bisa menyembunyikan perasaan gugupnya, ia berpikir apakah masih pantas ia menginjakkan kaki di rumah ini, atas apa yang telah ia lakukan terakhir kali?
Ia berdeham, mencoba menghilangkan kegugupannya. Berbeda dengan Dirga yang sudah turun lebih dulu, tanpa memedulikan dirinya. Ia memejamkan matanya sebentar, sebelum akhirnya ia memutuskan mengikuti Dirga. Keduanya berdiri di depan pintu rumah bercat coklat tua, Dirga sudah menekan bel rumah beberapa kali, namun sang pemilik rumah tidak kunjung membukakan pintunya.
Rossaline meremas ujung kemeja putih bermotif bunga-bunga yang di kenakannya. Jujur, ia masih belum siap bertemu sang pemilik rumah, yang mereka kunjungi.
"Apa Mami tidak ada di rumah, ya?" gumam Dirga, yang berhenti menekan bel rumah tersebut.
Tepat, ketika tangan Dirga hendak menekan kembali bel tersebut, pintu itu terbuka. Memunculkan sosok wanita dewasa berusia 40 tahun yang tampak tidak pernah menua. Wajah Dirga, dan wanita itu tampak sangat senang.
"Astaga, Mami kira kau tidak jadi datang. Apalagi, kau bilang akan datang bersama Rose," ucapnya. Ah, rupanya wanita itu belum menyadari sosok Rossaline yang berdiri di belakang tubuh Dirga, dengan kepala yang menunduk dalam.
Dirga tampak tersenyum lebar, "Aku ini pria sejati, yang selalu menempati janji," katanya dengan bangga, sembari menepuk dadanya.
Wanita berusia 40 tahun itu terkekeh. "Ya, ya. Kau memang pria sejati,"
Dirga tertawa, dan lantas memeluk sosok wanita tersebut dengan sangat erat. Namun, tiba-tiba tubuh wanita itu menegang, matanya membulat, tatkala menyadari sosok wanita yang berdiri di belakang tubuh Dirga.
Ia lantas melepaskan pelukannya, menggeser tubuhnya ke samping tubuh Dirga, hanya untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah.
"Rose," panggil wanita itu dengan lembut.
Dirga menatap sang kakak yang tampak bergeming, jelas sekali jika kakaknya itu sedang sangat canggung, dan juga tegang.
"Ah, aku lupa. Aku membawakan sesuatu untuk mami, aku akan mengambilnya di dalam mobil," ucap Dirga, yang kini berjalan ke arah mobil, dan meninggalkan dua wanita yang tampak saling tegang itu.
"Rose?" wanita itu kembali menyebut namanya, dan melangkah mendekat ke arah sosok wanita muda yang sangat ia rindukan.
"Rossaline," lagi, wanita itu kembali menyebut nama Rossaline, sebelum akhirnya ia memeluk erat tubuh Rossaline sangat erat, dengan kedua air mata yang mulai mengalir.
Ia merindukan Rossaline, amat sangat merindukan wanita bergelar dokter itu. Ia begitu sangat senang, karena Dirga berhasil membawa Rossaline datang menemuinya, setelah beberapa tahun tidak saling bertemu, dan memberi kabar. Dadanya terasa sangat sesak, karena senang bisa bertemu dengan Rossaline, hingga air matanya tidak bisa berhenti berjatuhan membasahi pundak Rossaline yang masih bergeming di tempatnya.
Rossaline juga tidak sadar, kapan air matanya mengalir dan membasahi wajahnya.
"Rose, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu," ucap wanita 40 tahun itu di sela-sela isakannya.
Dirga tersenyum, melihat pemandangan haru di hadapannya itu. Meski Rossaline mungkin masih tidak mengatakan apa-apa, setidaknya ia berhasil mempertemukan dua wanita yang sangat berarti di hidupnya.
Sadar dengan kehadiran Dirga dengan dua papper bag di tangannya, wanita itu melepaskan pelukannya dari Rossaline.
"Ayo, masuk ke dalam. Kalian berdua sudah makan?"
Baik Dirga, dan Rossaline sama-sama menggelengkan kepala. Membuat wanita berusia 40 tahun, yang sering di sapa bibi Shella itu tersenyum.
"Ayo, makanan sudah menunggu kalian," katanya.
Dirga mengangguk, dan berjalan masuk dengan Rossaline yang juga ikut masuk. Meski tidak banyak bicara, Rossaline mengamati ruangan kediaman bibi Shella, tidak banyak yang berubah. Rumah itu masih sama seperti dulu, hanya cat ruangannya yang berubah, juga beberapa bingkai foto di dinding juga sudah tidak terlalu banyak.
"Apa itu Dirga?" tanya bibi Shella.
Rossaline bahkan baru sadar, jika mereka sudah tiba di meja makan, yang penuh dengan macam-macam hidangan masakan bibi Shella.
Dirga meletakkan dua buah papper bag itu di atas meja. "Brownies kesukaan Mami," katanya, sembari mengeluarkan isi dalam papper bag itu, yang masing-masing berisi dua kotak brownies kukus kesukaannya, dengan rasa yang berbeda.
Wajah bibi Shella tampak sangat senang. "Terima kasih, Dirga. Kenapa kau sampai repot seperti ini?"
Dirga terkekeh, "Sama sekali tidak repot," katanya. Ia memang memesan brownies saat menunggu Rossaline kembali memeriksa pasien dokter Inggrid.
"Ah, ayo duduk, dan makan!" serunya. Ia kemudian memasukkan Brownies itu kembali ke papper bag, dan menyimpannya di meja pantry.
Dirga yang paling antusias soal makanan masakan wanita yang ia panggil Mami itu. Berbeda dengan Rossaline yang mematung sejak datang ke rumah ini.
"Kak, ayo makan!" seru Dirga.
Rossaline berdeham, kemudian mengambil tempat duduk di samping Dirga. Keduanya mulai makan dengan lahap, dan bibi Shella tersenyum. Ia sangat merindukan momen ini, kini dua anak yang ia rawat sejak kecil itu sudah dewasa. Rossaline sibuk dengan pekerjaannya di rumah sakit, dan Dirga juga sibuk dengan pekerjaan barunya.
Awalnya, ia marah saat Dirga mengatakan ia putus kuliah, tapi pada akhirnya ia menghargai apa pun keputusan anak itu.
"Mami, aku akan membantu mencuci piring," kata Dirga, setelah selesai makan. Ia juga mengambil piring bekas makan Rossaline.
"Kakak saja!" ujarnya. Rossaline merebut piring-piring kotor itu dari tangan Dirga.
"Biar bibi saja, kalian istirahatlah," katanya. "Dirga, kau bisa makan brownies itu sambil menonton televisi," tambahnya.
Dirga mengangguk, mengambil satu kotak brownies rasa strawberry. Ya, jika di pikir, Dirga itu tidak tahu diri, ia membeli brownies untuk bibi Shella, tapi ia juga memakannya. Ck!
"Thank you Mami!" serunya, sembari mengecup pipi kiri bibi Shella.
BibiShella terkekeh, dan mulai melangkah ke dapur, dengan membawa beberapa piringkotor ke wastafel. Tapi, gerakannya yang hendak menyalakan keran wastafel itu terhenti,saat suara Rossaline terdengar. "Mami, maaf .... " ucapnya sembari memeluk tubuh wanita yang sudah merawatnya dan juga Dirga, dengan suara tangis yang cukup nyaring.
"Maaf, Mami .... "
Dan kemudian tangis keduanya pecah, memenuhi ruangan itu.
Bibi Shella mengeratkan pelukannya pada wanita yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri. Rasanya benar-benar sangat senang, saat ia melihat Rossaline datang bersama Dirga, makan di rumahnya seperti dulu, dan sekarang Rossaline memanggilnya dengan sebutan: "Mami," seperti yang Dirga lakukan.
Dirga yang tengah menonton televisi, sembari memakan brownies kukus itu segera berlari ke arah di mana suara tangis itu terdengar. Ia hendak membuka mulut, menanyakan apa yang membuat bibi Shella menangis, tapi ia urungkan.
Pemandangan di depan matanya sudah menjelaskan semuanya. Bahwa Rossaline sudah berbaikan dengan wanita yang sudah seperti ibunya itu. Dirga tersenyum lega, setidaknya usahanya hari ini membawa Rossaline mengunjungi sang Mami, tidak sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Penakluk [PROSES PENERBITAN]
RomanceBEBERAPA PART TELAH DI HAPUS UNTUK PROSES PENERBITAN #1 Betrayal (20/06/2023) #1 Krystal (15/04/2023) #3 Alister (19/08/2022) #11 Conflict (22/08/2022) #5 Rajendra (03/09/2022) #1 Betrayal (13/06/2023) #6 Completed (25/11/2022) #4 Jakarta...