Setelah kepergian Jason dan Keisya, Alan dan Kim juga berpamitan untuk pergi. Sebelumnya Alan sudah menjelaskan bahwa mereka berdua akan pindah ke apartment Alan. Kim sempat menolak, namun Alan tidak menerima penolakan.Juga, dengan koper berisi pakaian Kim yang tadi ia pikir hilang ternyata sudah di masukkan kedalam mobil Alan. Kim merengut kesal, kenapa diberitahu saat akan pindah?
"Kim, kalau Alan nakal jangan sungkan cerita ke mama yaa. Alan anaknya keras, juga susah dibilangin. Dalam rumah tangga pasti ada naik turunnya, apapun rintangannya kalian harus hadapi sama-sama" nasehat Widia.
Kim melirik Alan yang sedang asik dengan ponselnya.
"Ck, dasar.." Kim berdecak kesal karena suaminya itu tidak mendengarkan titah Widia.
Kim menyenggol lengan Alan, agar ia mengakhiri kegiatannya."Apa?" tanya Alan sedikit kesal. Kim memberi kode agar Alan segera berpamitan dan menyalam tangan Widia dan juga Surya.
"Alan pamit ya ma, pa.." Widia dan Surya mengangguk lalu mengantarkan kepergian Alan dan Kim.
Dalam perjalanan menuju apartment, baik Alan maupun Kim sama-sama diam. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Kim yang sejak tadi memikirkan apa yang akan terjadi jika mereka tinggal berdua, dan bagaimana selanjutnya kehidupan pernikahan mereka? Kim tidak menyangka kalau mereka akan tinggal terpisah secepat ini dari keluarga Alan. Bukan apa-apa, tapi ia dan Alan kan belum saling mengenal satu sama lain.
Takutnya, situasi mereka akan terasa awkward. Kim mengehela nafas kasar, tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kedepannya.
Setelah menempuh perjalan yang memakan waktu kurang lebih 35 menit, akhirnya mereka tiba dibasement apartment Alan. Kim masih belum sadar kalau mereka sudah tiba, saat Alan mematikan mobilnya barulah Kim celingak celinguk melihat kanan-kiri.
Alan sudah lebih dulu keluar dan membawa dua koper milik Kim, sisa satu koper lagi yang akan dibawa Kim sediri.
"Ni orang emang sukanya diem apa gimana sih? Bukannya bilang udah sampe gitu" dumel Kim saat Alan berjalan menuju lift.Kim bergegas mengikuti Alan, takutnya Alan naik sendiri dan meninggalkan Kim yang tidak tau di lantai berapa apartmen milik Alan. Lift terbuka, Kim yang masih berjarak cukup jauh memeprcepat langkahnya, bahkan ia harus berlari mengejar Alan. Untung saja, Alan menahan pintu lift agar tidak tertutup sebelum Kim masuk.
"Dasar keong.." gumam Alan yang didengar oleh Kim.
"Siapa yang keong?" tanya Kim tidak suka.
"Ya, kamu. Siapa lagi, lambat.." Kim menyiku perut Alan, namun Alan tidak merasakan apa-apa.
Pintu lift kembali terbuka di lantai 21, Alan keluar dan dibuntuti oleh Kim. Satu lantai, hanya ada 3 kamar apartment. Alan berhenti didepan pintu berwarna gold yang dipadu dengan warna hitam. Berbeda dari pintu lain yang ada disana. Setelah memasukkan passwordnya, pintu setinggi kurang lebih 2,5meter itu terbuka.
Kim menatap takjub apartment milik Alan. Tidak terlalu besar, namun sangat mewah dan bersih. Seluruh furniturenya dari brand-brand ternama. Kim yakin, untuk isinya saja Alan pasti menghabiskan banyak uang.
Meskipun keluarga Kim termasuk orang yang cukup berada, tapi rasanya sangat sayang untuk membeli barang-barang semahal ini. Menurut Kim, mau harga mahal atau murah sama saja. Yang penting itu fungsinya.
"Koper kamu ada di kamar, kamu susun baju sendiri kedalam lemari" suara Alan membuyarkan rasa takjub Kim pada ruangan itu.
Kim pergi kekamar, sekali lagi ia dibuat takjub dengan kamar Alan itu.Meskipun dikamar hanya ada tempat tidur ukuran king size, dan sebuah sofa yang terletak disudut ruangan tapi kesan mewah itu sangat melekat.
"Dimana lemarinya?" tanya Kim dalam hati. Kim tidak melihat bentukan lemari disana, Kim harus mencari dan menemukan sebuah pintu. Kim berjalan menuju pintu yang ia yakini itu adalah kamar mandi.
Namun saat masuk kedalam, Kim terkejut bukan main. Ternyata itu adalah walk in closet yang sangat luas melebihi ruang tidur tadi. Nuansa putih dan abu menambah kesan mewah pada ruangan itu. Kim mengitari seluruh walk in closet. Baju milik Alan tersusun sangat rapih, semua disesuaikan dengan jenisnya.
Selesai menyusun pakaiannya, Kim keluar dan mendapati Alan sudah berbaring diatas ranjang. Rasanya Kim juga ingin ikut tidur, namun perutnya meminta untuk diisi.
Sesampainya didapur, Kim membuka lemari es dan menemukan banyak bahan untuk dimasak. Kim akan mengkreasikan bahan-bahan itu menjadi makanan lezat.
"Aku bikin untuk dua porsi atau satu aja? Suamiku udah makan belum belum ya?" Kim mengatup mulut menyadari perkataannya.
Kim memutuskan memasak untuk dua porsi, sebagai jaga-jaga kalau Alan juga lapar. Kalau tidak, Kim bisa menyimpannya untuk malam. Kim berkutat dengan pisau dan spatula didapur, aroma wangi masakan sampai menusuk hidung Alan yang berada dikamar.
"Astaga!!" Kim terkejut saat Alan sudah berdiri sambil bersandar pada dinding dapur. Untung saja, piring yang sedang Kim pegang tidak sampai terjatuh.
Alan berjalan mendekat untuk melihat apa yang sedang Kim masak. Mengambil garpu lalu mencicipi spageti yang sudah ada diatas meja makan.
"Hem, lumayan" kata Alan sambil mengunyah.Kim menata meja makan dengan 2 porsi spageti, lalu menuangkan minuman dingin kedalam gelas. Kim duduk menghadap Alan yang sudah lebih dulu duduk. Merekapun menikmati makan siang bersama.
Menjelang sore, kedua sejoli itu masih tidak berbicara satu sama lain. Hal yang ditakutkan Kim terjadi, suasana diantara mereka sangat canggung. Baik Alan maupun Kim tidak tau harus berbicara soal apa.
"Huhft, berhenti melirik-lirik. Katakan saja kalau ada yang ingin kamu sampaikan" Kim melempar pandangannya kearah lain, ternyata Alan menyadari bahwa sedari tadi Kim selalu melirik kearahnya.
Wajah Kim bersemu merah, malu tentunya.
"Em, kamu merasa nggak sih kalau suasana disini sangat canggung?" tanya Kim sedikit ragu.Alan menutup buku yang sedang ia baca dan melepas kacamatanya.
"Apa kamu merasa tidak nyaman?""Bukan gitu, aku cuma merasa kita masih sangat asing dan.." ucapan Kim dipotong oleh Alan.
"Nanti juga terbiasa. Oh, iya. Ada hal yang penting yang harus aku sampaikan" Kim menatap Alan dengan lekat.
"Pernikahan ini memang tidak dilandasi rasa cinta, aku nggak tau kamu gimana begitupun sebaliknya. Tapi, aku akan memperlakukan kamu layaknya seorang istri dan kamupun sebaliknya harus memperlakukan aku sebagai suami. Tidak ada yang namanya kontrak pernikahan seperti pasangan yang menikah akibat perjodohan pada umumnya, biar semua berjalan sesuai alurnya. Aku berhak mengatur hidupmu karna aku suamimu. Sampai disini paham?" Kim mengangguk.
Awalnya, Kim mengira bahwa Alan tidak akan menerimanya sebagai istri dan pernikahan mereka akan hancur. Namun ternyata tidak, Alan cukup bijak dan dewasa dalam menghadapi setiap problem yang ada. Dan satu lagi, Alan sangat bertanggung jawab.
Meskipun diawal hubungan pernikahan mereka bisa dibilang buruk, tapi melihat bagaimana Alan mengatasinya, Kim yakin semua akan baik-baik saja.
"Tapi bagaimana kalau kita tidak cocok?" tanya Kim meragukan rumah tangga mereka.
"Tidak ada pasangan yang cocok, yang ada pasangan yang saling menerima, saling menutupi kekurangan dan kelebihan masing-masing, juga saling bahu membahu apapun dan bagaimanapun kondisinya. Saya memang belum pernah menikah, tapi saya belajar dari rumah tangga orangtua saya. Dua karakter yang sangat jauh berbeda, tapi mereka mampu bertahan sampai detik ini. Jadi, apabila suatu saat rumah tangga kita berantakan itu bukan berarti kita tidak cocok, tapi jodohnya hanya sampai saat itu" jawab Alan.
Kim merasa lega, meskipun gagal menikah dengan orang yang ia cintai tapi Tuhan maha adil. Ia mendapat suami yang bijak, yang pastinya akan dapat membimbing dan membawa kebahagian dalam rumah tangganya.
Cinta, untuk saat ini Kim merasa tidak membutuhkan cinta lagi. Jika suatu saat ia jatuh cinta pada Alan, itu sudah seharusnya.
Alan tersenyum melihat Kim yang memahami setiap ucapannya. Walaupun pernikahan ini bukan lah keinginannya, tapi Alan memiliki sebuah prinsip dimana ia hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Apabila rumah tangga yang Alan pimpin berada di ujung perceraian, yang harus dilakukan adalah mempertahankan bagaimanapun caranya.