04

2.9K 421 23
                                    

Chapter 04 | Keluarga?

•••

"Semuanya stabil." Ucap Smirt, ia lalu menatap Earl dan Aleta. "Tapi aku sarankan untuk mengecek lukanya selama 6 bulan. Pendarahan di kepala bukan masalah sepele, jadi aku butuh untuk melihat apa efek dan dampaknya bagi tubuh Kana."

"Juga, retakan tulang dibahu kanannya memakan waktu 2 bulan untuk sembuh. Bisa 1 bulan jika anak itu menjadi baik dan penurut."

Earl mengangguk menghela nafas lega lalu menyandarkan tubuhnya di sofa empuk ruang kerja Smirt. Di sampingnya ada Aleta yang sedang melihat catatan medis anak mereka dengan teliti.

"Tapi sepertinya dia bukan anak yang penurut." Ucapan Smirt membuat tuan dan nyonya Alexander itu menatap sang Dokter.

"Maksudmu, anakku adalah anak nakal?"

Smirt terkekeh. "Kalian tak lihat? Tadi saat aku menyuntiknya, dia menatapku seperti seekor kucing marah. Jika tenggorokannya tak terluka, aku yakin dia akan rewel."

Aleta tersenyum kecil, jemarinya dengan anggun mengulir kertas demi kertas itu. "Kita belum lihat apa yang bisa dia lakukan, Smirt. Kehidupannya akan berubah, dia harus menyesuaikan diri. Begitupun aku dan Earl, kami harus mengenalnya lebih dalam."

Di ruang rawat, Kana diam tenang saat beberapa suster mengganti infus sambil membereskan beberapa perlengkapan medis. Masker oksigennya sudah di ganti oleh selang oksigen biasa.

"No.." Kana berucap lirih saat suster hendak kembali memasangkan infus.

Tangannya yang masih lemas dan kaku berusaha ia tarik menjauh dari sang Suster, tapi bahkan itu tak bergerak seinci pun.

"Tuda muda, anda masih membutuhkan ini." Kedua suster itu lalu menarik lembut tangan Kana.

Anak itu pasrah— menatap sang perawat dengan mata kucingnya yang sayu berharap mereka luluh. Bibir yang masih pucat nan kering itu melengkung ke atas dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya.

Kana menggeliat, tapi tak bisa mengadu karena bahkan tenggorokan nya sakit. Ia tidak tau dari mana semua rasa sakit ini berasal. Kedua suster itu merasa kasihan, tapi mereka harus profesional. Dan lagi, tubuh Kana memang masih membutuhkan semua peralatan medis.

Saat pekerjaan mereka selesai, pintu terbuka bertepatan dengan masuknya Earl dan Aleta. Mereka menunduk hormat lalu pamit. Tak lupa Aleta mengucap terimakasih. Fokus keduanya sekarang beralih pada Kana yang menangis dengan suara tertahan.

"Hai, Sayang." Suara lembut Aleta membuat Kana mendongak, anak itu memandang polos wanita cantik yang sedang tersenyum sambil mengusap kepalanya yang tertutupi beanie.

"Bagaimana kondisimu, heum? Bagian mana yang sakit?"

"Si–apa?"

Aleta tersenyum, ia tak menjawab begitupun dengan Earl. Mereka tak akan jujur sekarang, mungkin nanti saat keadaan Kana jauh lebih baik. Karena untuk sekarang, kondisi anak mereka masih sangat lemah.

Kana tak berontak saat Aleta dengan lancang mengusap pipi, kepala serta bahunya yang disanggah oleh gips. Kana tau mereka adalah orang asing, tapi aneh, ia merasa nyaman. Maka dari itu, Kana membiarkan Aleta sampai dirinya kembali menutup mata karena merasa aman.

Aleta kembali meneteskan air mata, mencium lamat lamat kening sang anak lalu bergumam lirih di telinga Kana. "My Love."

Earl tersenyum tipis, memandang lekat wajah Kana lalu menyentuh punggung tangan yang terpasang infus itu lembut. Dadanya berdesir, ada perasaan  hangat, bahagia dan senang.

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang