Secara paksa, Rachel melepaskan cengkeraman Jethro pada tangannya sebelum mereka masuk ke kamar kos Jethro. Sejak langkah pertama melewati gerbang masuk, Rachel sudah tahu indekosnya hampir kosong. Penghuninya pasti sekarang sedang berada di kampus bersama keahlian vandalisme mendadak mereka, atau dengan teriakan-teriakan kasar di depan gedung rektorat. Kalaupun ada yang tidak di sana, paling-paling kini sedang pulang ke rumah orang tuanya, atau sedang menikmati akhir pekan tanpa peduli dengan isu hangat yang merajalela di seluruh platform berita.
Rachel tahu Jethro akan marah padanya. Mungkin memperpanjang keributan mereka yang kemarin terhenti karena Rachel kabur dari rumahnya sendiri. Atau, entahlah. Tapi, apapun alasan Jethro akan marah, Rachel mau memperjelas sekali lagi padanya, "Kita udah putus. Kan kemarin gue udah ngomong sama lo, kita putus. Ngapain lo bawa gue ke sini? Nggak usah lo sentuh-sentuh gue. Nggak ada consent bagi lo untuk ngelakuin itu."
Jethro berdengkus. Laki-laki itu berbalik dengan supertenang. "Emangnya bisa, kita putus? Bisa, seorang Rachel hidup tanpa Jethro?"
Harga diri Rachel merasa benar-benar tergores mendengarnya. Jelas, ia merasa sakit hati dan tidak dianggap mampu dengan pernyataan begitu. Akan tetapi, ini bukan waktu yang tepat untuk mendebatkannya atau bersendu-sendu ria dengan mempertanyakan sendiri kebenaran dari pernyataan Jethro.
Lagi pula, sekarang Rachel pikir ia sudah punya sedikit kekuatan. Setidaknya, kata putus yang sudah berani ia katakan kemarin siang jadi kekuatannya, untuk terus melawan Jethro dan berkata bahwa laki-laki itu tidak berhak lagi mengatur-atur hidupnya.
Sambil menggeleng dan tertawa mengejek, Rachel meludah pada ujung sepatu Jethro. Sepatu yang ia belikan enam bulan lalu sebagai hadiah ulang tahun untuk Jethro. Rachel sudah lupa dan tidak peduli dengan harganya yang mencapai angka jutaan. Rasa hormatnya sudah tidak ada untuk Jethro, titik. "Lo pikir selama ini lo biayain hidup gue, Je?"
"Berani ya ngomong kayak gitu?" Jethro ikut terpancing, jelas. Tatapannya teralihkan dari ujung sepatunya yang kini basah dengan cara menjijikan. "Aku tuh ngajak kamu ngomong baik-baik, tapi kelakuan—"
"Apa?!" Rachel menyentak meski pada akhirnya tangannya bergetar saking takutnya dengan reaksi Jethro selanjutnya.
"Dengerin dulu bisa nggak, sih, Rachel!" suara Jethro meninggi. Bahkan, Rachel yakin seisi indekos bisa mendengarnya. Rachel sampai melihat sekitar, memastikan tidak ada orang yang sedang menyaksikan keributan yang sangat jarang terjadi ini. Jethro tidak pernah berteriak padanya di tempat umum. Bahkan ketika ia berang sekalipun.
Rachel memilih untuk diam.
"Kita ngobrol di dalem," tegas Jethro dengan nada bicara yang sudah merendah dan jauh lebih tenang. Laki-laki itu melepas sepatunya, kemudian membuka pintu kosannya yang terkunci. Akan tetapi, sebelum membukakan pintu untuk Rachel, laki-laki itu menadahkan tangannya. "HP. Aku nggak mau kamu curang, dan aku nggak mau liat ada temen-temenku tiba-tiba dateng gara-gara kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Hotline
Teen FictionTiga tahun mengenyam hubungan yang tidak sehat dengan pacarnya, Rachel memilih untuk tetap bungkam. Sebab ia tahu, mengutarakan semua keresahannya takkan mengubah apa pun, termasuk perasaannya pada Jethro, yang ia yakini takkan pernah berubah. Akan...