Tiga tahun mengenyam hubungan yang tidak sehat dengan pacarnya, Rachel memilih untuk tetap bungkam. Sebab ia tahu, mengutarakan semua keresahannya takkan mengubah apa pun, termasuk perasaannya pada Jethro, yang ia yakini takkan pernah berubah.
Akan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sore sudah hampir habis. Matahari sudah sedang dalam perjalanan pulangnya, meninggalkan lembayung keunguan yang cantik di luar gedung sekretariat BEM. Mobil-mobil sudah berbaris menuju pintu keluar, menyambut jam pulang kuliah. Sekretariat BEM bahkan sudah sepi. Di dalam ruangan, hanya ada tiga orang termasuk Jethro. Ia sedang mengerjakan tugas di mejanya sendiri; ada Freya yang sedang merapikan map-map di dalam bok khusus; dan ada Lydia yang tengah menemani Freya beberes.
Dalam hitungan menit, tanggung jawab Jethro mengerjakan tugas usai. Laki-laki itu bersandar di kursi kerjanya, menyaksikan Freya dan Lydia yang kompak beberes. Di tangannya masih ada bolpen yang ia mainkan di antara jari-jarinya yang kurus dan panjang.
"Seleksi untuk pengisi acara pentas seni Dies Natalis udah sampai mana progress-nya, ya, Frey? Kalian tau, nggak?" tanya Jethro tiba-tiba, membuat pekerjaan Freya dan Lydia terjeda sejenak untuk seadar menoleh ke arah Jethro. "Terus, yang handle acara game untuk dosen di auditorium tuh, siapa, ya?"
Freya dan Lydia saling tatap sejenak, seolah tengah bertukar pikiran dan akhirnya mencapai mufakat, bahwa Freya-lah yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Gadis itu meletakkan tumpukan map yang ada di tangannya, lalu beralih pada satu fail di dalam boks dengan tulisan "Dies Natalis 2022".
"Seinget gue, seleksinya masih dalam proses dan masih online gitu, sih, Kak. Anak-anak acara dan peserta masih kurasi video yang di-submit mahasiswa sama portofolio mereka. Nah, buat yang handle-handle gitu kita kurang tau, deh, karena itu udah urusannya anak acara sama peserta. Belum keluar tuh datanya siapa yang bakal tanggung jawab untuk siapa," terang Freya sambil membaca susunan panitia di dalam proposal kegiatan yang baru diambilnya. "Koor acara sama peserta sih, Devano sama Megan. Mungkin nanti gue tanya lagi, deh, sama mereka. Kenapa emangnya, Kak?"
Jethro menggeleng. "Nggak apa-apa, nanya aja," jawabnya tenang. "Terus, soal anggaran biaya, gimana, Frey? Lo udah follow up lagi?"
Freya mengernyit heran. "Kita baru ngomongin RAB kemarin sore, perasaan. Belum bisa follow up lagi, Kak, karena terakhir gue follow up ke WR itu baru dua minggu lalu. Kenapa? Kan, masih Juni juga?"
Jethro diam. Gerak jarinya yang memutar-mutar bolpen di tangannya lantas berhenti. Ia merasa pertanyaan itu sedang jadi jebakan untuknya. Apakah Jethro perlu berterus terang kepada Freya dan Lydia soal kecurigaannya mengenai biaya? Tidak. Jethro dan Omar baru saja menangkap kecurigaan ini tiga hari lalu di hari Jumat. Mungkin mereka harus menahannya dulu sampai satu pertanda terungkap lagi. Atau, kalau perlu, ia bisa bicarakan ini di rapat kelak, siapa tahu ada korban-korban calon 'disuap' lainnya selain Diandra.
"Ya, nggak apa-apa, gue nanya aja, Frey."
Freya mengangguk-angguk, meski hati kecilnya tidak yakin kakak tingkatnya itu hanya bertanya tanpa tujuan jelas. Namun, seolah tak peduli, Freya langsung mengalihkan perhatiannya kembali guna mengusir curiganya atas pertanyaan-pertanyaan Jethro.