Tiga tahun mengenyam hubungan yang tidak sehat dengan pacarnya, Rachel memilih untuk tetap bungkam. Sebab ia tahu, mengutarakan semua keresahannya takkan mengubah apa pun, termasuk perasaannya pada Jethro, yang ia yakini takkan pernah berubah.
Akan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Diandra!"
Langkah Diandra terhenti mendengar suara yang tak asing. Menemukan orang yang memanggilnya, Diandra lantas melangkah kepadanya. Kedua alisnya terangkat sekilas sebelum kepalanya celingukan mencari sosok lain yang kemungkinan ada di sekitarnya. "Kenapa, Kak Omar?"
"Rachel ada?"
Diandra refleks menoleh ke belakang, ke arah pintu tempatnya keluar barusan. "Ada kayaknya. Tapi lagi sama Deandy."
"Masih ngapain?"
"Eng ... ya, nggak tau," balas Diandra sambil menggerayangi tengkuk dan menggigit bibir bawahnya. "Ngomongin urusan angkatan, kali, ya?"
"Oh, oke."
Penuh canggung, Diandra mengangguk. "Iya, Kak. Kalau gitu gue cabut duluan, ya, gue ada urusan," pamit Diandra.
Tak mau mempertanyakan urusan pribadi Diandra, Omar hanya mengangguk, mempersilakannya pergi duluan. Dia bisa melihat Diandra langsung berbalik tanpa sepatah kata apa pun. Langkahnya juga cepat, seolah sengaja buru-buru meninggalkan gedung fakultas dan menghindari Omar. Dalam beberapa detik, figur tubuhnya sudah menghilang dari jarak pandang Omar, pun karena akhirnya Omar melihat figur lainnya pada pintu ruangan di depannya.
Rachel keluar bersama laki-laki yang Omar duga sebagai Deandy, partner Rachel sebagai ketua angkatan di jurusannya. Tanpa perlu usaha lebih, dari titiknya berdiri Omar sudah bisa mencuri dengar sedikit percakapan mereka. Tidak panjang, hanya sekilas salam pamit karena Rachel harus segera pergi, lalu perempuan itu berterima kasih dan memohon maaf sekaligus pada Deandy.
Detik selanjutnya, Rachel menghampiri Omar. "Kan gue bilang nggak usah dijemput ke kelas, Kak," protesnya sambil memandang sekitar. Mau ia sadar ataupun tidak, jauh di dalam hatinya Rachel sudah yakin setelah ini akan beredar lagi gosip-gosip miring yang akan berangsur dari mulut ke mulut. Rachel lantas melangkah, meninggalkan Omar yang jelas-jelas menantinya keluar dari kelas.
Berbeda dengan Rachel yang terlalu khawatir dengan paparazi yang takkan segan memublikasikan lagi dokumentasi privasinya, Omar terlihat begitu tak acuh. Bahkan setelah Rachel melangkah dengan cepat meninggalkannya, laki-laki itu justru segera menyetarakan langkah. "Kalau gue maunya jemput lo di kelas, emangnya kenapa? Lagian kan kita sefakultas, jalan buat ke lapangan juga sama, kebetulan gue juga baru selesai kelas, nah apa lagi alesan bagi gue buat nggak jemput lo sekalian?"
"Lo tuh, selalu gitu, ya, Kak?" Seketika langkah Rachel melambat seiring ia bertanya dengan nada—yang sebisa mungkin—tanpa menghakimi sepihak.
"Gimana?" Omar sedikit mencondongkan tubuh ke Rachel sambil menautkan kedua tangannya di belakang pinggangnya.
Rachel menoleh pada laki-laki yang kini kepalanya hampir sejajar dengan matanya. Perempuan itu tertawa mengejek, "Maksain apa yang lo mau."
Sejurus, Omar terkejut mendengar respons tersebut. Kakinya langsung membeku hingga langkahnya terhenti. Ia sibuk memainkan lidah di pipi, lalu menggigit bibir bawahnya dan meringis. Sementara Rachel terus melangkah, mendahuluinya menuju lapangan di Fakultas Keolahragaan.