Rachel menghabiskan waktu hingga satu setengah jam hanya untuk menceritakan pada Diandra tentang hubungannya bersama Jethro yang sudah terjalin hampir empat tahun lamanya. Tangisnya sudah pecah sejak menit kelima belas. Riasan wajahnya sudah tak keruan. Berlembar-lembar tisu di kamar Diandra sudah terbuang-buang. Rachel tetap tak henti mengusap pergelangan tangannya yang masih memerah.
Diandra berdesah berat ketika cerita itu akhirnya berhenti dan selesai pada kata putus yang bahkan ia dengar sendiri di telepon tadi. Namun, meski cerita Rachel usai, tidak dengan air matanya. Tangis Rachel benar-benar kacau hingga tak berhenti sesenggukan. Perempuan itu memeluk lututnya dan menenggelamkan kepalanya di sana, membasahi jins yang dikenakannya.
Tidak ada yang bisa Diandra lakukan selain berusaha menenangkan Rachel. Tangannya tetap mengusap punggung Rachel tanpa henti, tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya. Ini bukan waktu yang tepat untuk memberikan semangat. Rachel barangkali hanya sedang butuh pelukannya. Ia rapuh sekali.
"Chel, sori ya ... selama ini gue nggak pernah peka kalau lo ada di posisi sulit kayak gini." Diandra menarik Rachel ke dalam dekapnya, membiarkan perempuan itu menangis membasahi kaus miliknya.
"Di ...." Suara Rachel bergetar. Ia balik memeluk Diandra. "Tolong jangan bilang ke siapa-siapa soal ini, ya. Termasuk ke Kak Ilyas, abang lo juga. Nggak ada yang tau gue pacaran sama Jethro. Bahkan temen-temen SMA kita pasti mikir kita udah putus karena udah lama nggak upload foto bareng. Please."
Lesu, Diandra mengangguk. Meski rasanya tidak tega kalau masalah serius ini tetap dibiarkan dan Rachel mungkin akan tetap mendapatkan perlakuan keji, tapi ia masih mau menghargai keputusan Rachel. Diandra tahu, sahabatnya bijak. Rachel pasti tahu apa yang terbaik untuk dirinya sendiri.
Dekapan mereka mengendur. Rachel menyugar rambutnya dengan jari. Kedua ibu jarinya kemudian mengusap matanya sendiri yang basah, membuat kosmetiknya luntur tak keruan. Senyum Diandra mengembang tipis. "Sumpah, lo kuat banget Chel nanganin semua ini sendirian. Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungin gue. Lo bisa hubungin siapapun yang lo percaya, Chel. Oke? Lo tau, kan, lo nggak akan sendirian?"
Sesaat, Rachel teringat Omar. Laki-laki itu pernah mengatakan hal serupa. Senyumnya mengembang tipis, menyadari adanya orang-orang yang jauh lebih hangat ketimbang Jethro. "Kak Omar pernah bilang begitu ke gue, Di. Waktu dia liat luka lebam di bahu gue, dan kacamata gue yang patah. Katanya, kalau gue butuh bantuan apa pun, gue bisa hubungin dia. Dan ... Jethro cemburu. I wonder, gimana ya pertemanan mereka? Gue takut, gara-gara gue, malah pertemanan mereka rusak. Padahal, Kak Omar juga cuma bersikap baik, bukan karena suka sama gue. Tapi Jethro nggak berpikiran begitu."
Kedua tangan Diandra kini mendarat di lengan Rachel, meremasnya pelan. "Bagus, dong!" serunya. "Kak Omar bener kok. Dia emang baik, dan lo jangan pernah nyia-nyiain kesempatan itu, Chel. Kalau suatu hari nanti, lo kenapa-napa sama Kak Jethro, dan nggak memungkinkan bagi gue buat nolongin lo, hubungin Kak Omar juga, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Hotline
Teen FictionTiga tahun mengenyam hubungan yang tidak sehat dengan pacarnya, Rachel memilih untuk tetap bungkam. Sebab ia tahu, mengutarakan semua keresahannya takkan mengubah apa pun, termasuk perasaannya pada Jethro, yang ia yakini takkan pernah berubah. Akan...