"Chel, ketika gue tau maaf nggak akan cukup untuk nebus semua ini, maka apa yang mampu?" pertanyaan itu muncul dengan nada penuh penyesalan.
Rachel menggeleng. Ia bahkan tidak tahu apa yang setara untuk membayarkan kesalahan yang Jethro perbuat selama ini. Jangankan menjawab pertanyaan Jethro dengan benar, sampai sekarang, justru Rachel masih mencoba berpikir secara obyektif, meneliti sekujur ekspresi Jethro, mendeteksi tiap gerak wajahnya. Rachel bimbang. Bahkan untuk menyimpulkan ini sebagai nada penyesalan atau hanya sebatas manipulasi, Rachel rasanya tidak mampu.
Tidak bisa dimungkiri, Rachel pun mau bebas. Ia tidak mau berurusan dengan birokrasi kampus yang ribet. Tidak mau jadi buah bibir. Tidak mau bermusuhan dengan siapa pun. "Gimana caranya supaya persidangan kita dibatalin? Gue nggak mau bawa-bawa pihak kampus. Biarin masalah ini selesai secara baik-baik, Je. Toh, kita udah masing-masing sekarang, atau...."
"Atau?"
Cukup lama keduanya terdiam dan saling pandang. Jethro menanti jawaban, sementara Rachel berpikir begitu dalam. Perempuan itu berusaha menjernihkan kembali pikirannya. Ia menggeleng, lalu menyungging senyum selebar yang ia mampu. "Nggak," kilahnya. "Pulang, yuk?"
Kecewa maksimal dengan responsnya, Jethro berdecak sebal sambil mematikan sisa bara di ujung rokoknya. "Ck, gue belum selesai, Rachel."
"Tapi gue mau pulang, Jethro," rengek Rachel sambil mengerucutkan bibirnya. "Udah malem."
Refleks Jethro melirik pada jam dinding. Sudah pukul sepuluh. Ia mengalah pada akhirnya. Jethro beranjak dari sofa sambil menarik jaketnya dari punggung sofa. Ia melangkah ke ruangan lain untuk mengambil kunci mobil, sementara Rachel sudah lebih dulu keluar untuk mengenakan sepatunya.
Begitu Rachel selesai mengikat tali sepatunya, Jethro sudah siap di dalam mobil. Rachel menyusul masuk, lalu mobil segera melaju meninggalkan garasi rumah Samuel. Keduanya saling diam, saling sibuk memandangi jalan raya melalui kaca depan.
Musik secara acak mengalun, dari jazz hingga EDM, semuanya bergantian secara rata, membuat atmosfer ruangan terasa campur aduk tiap menit berlalu. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi, membelah jalan yang hampir kosong menuju pergantian hari.
"Rachel."
Rachel hanya bergumam menanggapinya.
"Satu-satunya cara untuk hidup tenang sekarang ini tuh, sebenernya sederhana," cetus Jethro. Rachel sabar menanti kelanjutanya meski menyita waktu cukup lama. Ada keraguan di dalam hati Jethro untuk mengutarakannya, dan Rachel bisa merasakannya dengan jelas. Laki-laki itu sampai harus menghela napas untuk mengumpulkan keberaniannya. "Kita selesaiin urusan persidangan ini tanpa perlu ngumpulin bukti kesalahan gue."
Rachel mendelik. "Tanpa apa? Sebentar, lo—"
"Iya, iya, iya, Rachel," potong Jethro lagi lebih tergesa, menghindari Rachel untuk salah paham duluan. "Gue tau gue salah, gue juga udah ngakuin itu kok. Tapi Chel, demi kedamaian dan privasi kita sendiri, ayolah, kita udahin aja semuanya. Kita nggak perlu perpanjang debat di meja hijau. Cukup dengan pernyataan bahwa lo memang bener minta video itu di-take down, selesai. Nggak ada pihak yang bersalah, karena video itu emang bukan kehendak kita. Kasus ditutup, kita kuliah dengan aman, nyaman, nggak digosipin sana-sini, nggak perlu memecah-belah mahasiswa jadi kubu lo atau kubu gue. Enak, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Emergency Hotline
Teen FictionTiga tahun mengenyam hubungan yang tidak sehat dengan pacarnya, Rachel memilih untuk tetap bungkam. Sebab ia tahu, mengutarakan semua keresahannya takkan mengubah apa pun, termasuk perasaannya pada Jethro, yang ia yakini takkan pernah berubah. Akan...