0.5 Saling Merindu Tapi Tak Tahu

52 6 0
                                    

Aku menatap punggung Raka yang tertelan pintu keluar. Cowok itu harus pamit karena ada urusan lain. Kenapa harus Raka yang pergi? Kenapa bukan Iqbaal saja, si mantan yang membuat keadaan menjadi canggung menyebalkan? Haruskah aku ikut melangkah keluar seperti yang dilakukan Raka, mengarang alasan kalau Bibu mencariku?

Aku menggelengkan kepala. Sepertinya itu tidak bijak sama sekali. Aku bukan Bia yang dulu, yang menghadapi hal yang tidak disuka sekaligus masalah lantas melarikan diri. Bia yang sekarang harus berani. Tidak boleh jadi pengecut. Tapi berada di sini, bersama Iqbaal? Memangnya aku kuat mendengar tawa cowok itu lagi yang beberapa bulan bahkan sudah asing di telinga? Memangnya aku bisa tahan untuk tidak memeluknya setelah menatap matanya dan melihat senyumnya itu yang selalu menenangkan?

Iqbaal memang dekat, tapi dia jauh, jauh sekali. Dia bukan Kak Iqbaalku, bukan lagi pacarku. Meskipun jarak kita sekarang hanya sepelemparan batu. Jujur aku memang rindu kepadanya, tapi itu harus ditahan. Dan aku membenci itu.

•••

Sebotol air mineral yang sudah dibuka tutupnya bergeser ke mejaku. Adalah Kafi, cowok itu sepertinya tahu bagaimana keadaanku saat ini. Ia tersenyum, menyuruhku untuk meminumnya. Tanpa suara dia bertanya dengan alisnya dan matanya, yang kalau aku tidak salah tangkap ia  seperti mengatakan mau pulang sekarang? Aku menatap sekeliling—menemukan Tiur dan Olin yang tersenyum menatapku, seolah ingin aku tetap tinggal di sini bersama mereka. Aku menarik napas kemudian menggeleng menjawab pertanyaan Kafi. Cowok itu mengangguk, menyetujui.

"Cowoknya Bia?" tanya Danu membuat semua atensi langsung berubah menatap Kafi, kecuali Iqbaal.

"Lebih tepatnya si, calon suaminya Bia." tegas Kafi membuatku melotot menatapnya. Kafi malah tersenyum menaikan alisnya. Ngeledek!

"Maunya si gitu Bang, tapi Bianya masi belum mau dilamar. Katanya nunggu lulus." Aku berdecak kemudian melebarkan mataku, menyuruh cowok itu untuk diam.

Tawa langsung meledak, muka tegang dan kaget hilang dari beberapa wajah mereka begitu mendengar yang Kafi katakan.

"Ngagetin lo, gila gue jantungan dengar Bia udah ada calon suami." tukas Bang Titan.

Kafi menunjukan cengiran bodohnya.

"Kenapa? Abangnya juga suka ya sama Bia?" tanya Kafi.

"Bia mah udah kaya adik buat gue bro. Cuma dengar Bia ada calon suami kayanya banyak yang patah hati, termasuk anak jurusan gue. Ada kali tuh sepuluh cowok anak arsitek suka titip salam buat Bia. Kasian aja nyampein berita duka."

"Anak ekonomi bisnis juga tuh, demen banget nitip salam gitu ke gue." tukas Bang Ojan.

"Anak hukum juga banyak yang ngefans sama Bia." tukas Bang Aran. "Sampai gue kibulin setiap mau titip salam bayarin makanan kantin."

"Itu si lo nya aja yang miskin Ran." tukas Bang Danar.

"Gitu deh bro, yang antri Bia banyak. Apalagi semenjak Bia udah gak ada singanya ditambah masuk univ cantik yaudah deh makin banyak tuh yang mau kenal Bia." tukas Ojan melirik Iqbaal yang sibuk dengan kentang gorengnya.

Kafi menganggukan kepala. Ia mengulum senyum. "Gak heran si, soalnya Bia memang punya daya tarik yang kuat."

Aku berdeham tidak nyaman, aku rasa perbincangan mengenai diriku harus segara diakhiri sampai di sini.

Done For Me [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang