bgm : Runtuh - Feby Putri ft Fiersa Besari (Cold saranin mulmednya selalu dinyalain <3)
***
Pagi menyapa anak laki-laki yang masih tergulai lemah dikasur tempat tidurnya, dengan nyawa yang masih dalam proses itu Sakta duduk menatap jendela kamarnya yang terbuka membuat sinar matahari itu mengenai mukanya secara tidak langsung. "Siapa sih pagi-pagi buka jendela sembarang." Awal pagi yang diawali dengan ocehan seorang Padmana Sakta hanya perihal jendela. Sepertinya benar kata teman-temannya jika kesabaran Sakta hanya setipis debu.
"Bangun Nak, udah siang." Seorang perempuan masuk kedalam kamar Sakta dengan pakaian yang sudah rapih, dengan style yang bisa dibilang sangat moderan seumuran itu. "Bibi udah masak, nanti sebelum kesekolah kamu makan dulu ya." Ucap perempuan itu sembari menata rambut anak laki-lakinya yang sedikit berantakan khas bangun tidur itu dengan tangan halusnya.
Namun tidak ada senyum dari muka Sakta, melainkan seperti ada tanda tanya besar diotaknya. "Sebenernya lahirin Sakta itu, Mamah atau Bibi?". Pertanyaan itu keluar dari mulut Sakta membuat usapan tangan Mamahnya berhenti. "Mamah kerja Sakta." Ucap Ibu Sakta yang masih mencoba untuk berkata selembut mungkin pada anak laki-lakinya yang sifatnya tidak pernah berubah.
Namun jawaban itu membuat Sakta tersenyum, tersenyum meremehkan.
"Kerja terus, keluarga ga diurus."
Sakit, mungkin itu yang dirasakan Ibu Sakta. Ucapan anaknya itu membuat satu goresan dihatinya.
Sudah beberapa tahun lalu Ayah Sakta meninggal dan membuat Ibunya mau tidak mau harus kerja dengan ekstra demi anak-anaknya. Syukur pekerjaan di butik membuahkan hasil yang lumayan walau harus merelakan banyak waktu untuk bekerja lebih keras dan meninggalkan waktu untuk keluarganya.
Ada keluarga yang hartanya terlihat sangat banyak dan sangat mencukupi kehidupannya namun hartanya tidak bisa membeli kebahagian khas sebuah keluarga dan hartanya juga tidak bisa membeli sebuah pelukan hangat khas keluarga.
Mungkin Sakta hanya rindu masa-masa keluarganya yang dulu.
"Mamah juga kerja buat kamu Nak." Sakta berdiri dari tempatnya menuju kamar mandi. "Bener buat aku? Bukannya buat Jayan anak kesayangan Mamah?". Ucap Sakta, belum dijawab oleh Mamahnya Sakta memilih masuk kedalam kamar mandinya.
"Mamah keluar aja, ga usah tunggu Sakta." Teriak Sakta dari dalam kamar mandinya.
Sosok perempuan yang berstatus ibu itu berjalan keluar kamar Sakta dengan muka yang teramat sedih. Beliau keluar kamar Sakta lalu menutup pintu kamar anaknya itu. Tak terasa satu tetes air mata turun dan menetes tak tertahan.
Menjadi Ibu tidaklah mudah, banyak hal yang sudah Ibu Sakta lakukan agar Sakta bisa seperti dulu namun tidak ada hasilnya. Sakta masih sama, masih sama keras kepalanya dan sangat tidak mudah mengatur Sakta.
"Mamah." Sapaan dari Jayan membuatnya secara cepat membersihkan air mata itu. "Ya Nak, udah mau berangkat?". Senyum yang ditampilkan dibibirnya dengan sekuat tenaga ia menahan air mata yang ada agar tidak terlihat.
"Mamah nangis?". Ternyata tidak berhasil. Jayan tahu jika Mamahnya itu menangis.
Namun Mamahnya itu masih berusaha untuk menutupinya. "Kamu berangkatnya tunggu Sakta ya, Mamah berangkat dulu. Jangan lupa sarapan." Sebelum pertanyaan lain keluar dari mulut Jayan Mamah memilih untuk pergi, ia memberi kecupan indah dipipi anak laki-lakinya itu.
Jayan membeku di tempatnya. 'Sehari lo ga bikin Mamah nangis ga bisa apa.' Rasa marah bercampur aduk dihati Jayan.
Jayan hampir menjadi sosok pertama yang selalu melihat Ibunya menangis karena perbuatan saudara kembarnya namun selalu saja ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, Sakta sudah kelewat batas selama ini namun setiap perkataan Jayan untuk menyadarkan Sakta selalu tidak ada hasilnya. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan, itu yang akan terjadi jika menasehati seorang Sakta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Bumi
Fanfiction[Bahasa] Beberapa orang dilahirkan dalam keadaan keluarga yang jauh dari kesempurnaan. Menemui berbagai masalah yang akan menjadikan suatu perjalanan hidup. "Ga usah sok kaya didepan gue, jijik gue liatnya." Harsha Diwangkara perempuan yang hidup...