Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Atau khusus kasus Elara, musuh terbesar seorang perempuan adalah sesama perempuan itu sendiri. Tak jarang perempuan melihat perempuan lain sebagai saingan, mengukur diri sendiri dengan standar perempuan lain, berdandan paling cantik juga untuk menyaingi perempuan lain. Dan lihat saja orang-orang yang saling nyinyir dan saling menjatuhkan di media sosial didominasi oleh kaum perempuan. Woman support woman hanyalah dagelan basi!
Itulah yang bercokol di benak Elara kini. Sembari bermacet-macetan di jalan menuju kediaman orang tuanya, kepalanya penuh memikirkan argumen sadis dari Sara. Tangannya sesekali meremas roda kemudi, terbakar oleh emosinya sendiri.
Elara tak habis pikir mengapa Sara tega merisaknya atas pengkhianatan Beno. Mereka bertiga sudah bersahabat cukup lama. Hubungan mereka akur-akur saja. Nyatanya, selama ini Elara pikir Sara mengenakan topeng terbaiknya. Benarkah Sara iri karena dirinya single dan mapan? Apakah Sara merasa terancam?
Oh, sial! Mengapa ia harus memikirkan Sara segala?
Elara meraih ponselnya untuk kemudian memblokir nomor Sara sampai waktu yang tidak ditentukan. Biarlah ia dibilang baperan. Memiliki teman seperti Sara hanya akan menguras kewarasannya.
***
Elara memasuki halaman rumah orang tuanya dengan langkah malas luar biasa. Seharusnya saat ini ia sudah sampai di kontrakan mungilnya, menyesap minuman boba dingin rasa vanila yang dibelinya sepulang bekerja. Jauh-jauh ia berkendara dari selatan ke barat demi sebuah undangan makan malam yang tak jelas juntrungannya.
Ia mengintip sebentar, ruang tamu terlihat sepi dari luar. Rumah yang katanya tempat pulang, semenjak kuliah tak pernah lagi membuatnya nyaman. Hawanya seperti medan perang. Beberapa detik setelah ia menekan bel, seorang asisten rumah tangga tergopoh-gopoh membukakan pintu depan.
"Di depan mobil siapa, Bi?" tanya Elara atas keberadaan BMW hitam di pekarangan.
"Tamunya Bapak, Non."
"Oh."
"Lagi di ruangan kerja Bapak kayaknya, Non," tukas perempuan itu lagi.
"Mama mana?"
"Di sini!" Sang ibu melambaikan tangan sembari tersenyum tipis dari ruang tengah. Perempuan itu tampil anggun dan cantik seperti biasa.
Elara mengecup pipi ibunya sekilas saja. Meskipun enggan pulang, perempuan itu tetaplah ibunya. "Jadi, ada acara apa, Ma?" tembaknya langsung pada topik utama.
Nora merengut. "Tanyain kabar Mama dulu kek."
"Mama kelihatannya sehat."
Nora mengembuskan napas kesal. "Gimana kelanjutan kencan butamu dengan Airlangga?" jawab sang ibu mengabaikan sahutan tak acuh putrinya. "Ada kemajuan?"
Elara mengangkat bahu. "Biasa aja."
"Pasti gagal lagi, kan?" Bahu Nora merosot. "Mama angkat tangan, El. Memangnya tipe pria seperti apa, sih, yang kamu mau?"
"Aku nggak butuh pria mana pun, Ma. Lebih baik nggak punya suami daripada nggak punya uang. Nggak punya suami aku masih bisa hidup. Nggak punya uang nyawaku melayang."
"Itulah salahmu terlalu menampakkan kemandirian hingga sulit dapat jodoh," sambar seseorang dari belakang. "Para pria enggan mendekatimu. Bahkan Beno pun meninggalkanmu."
Elara sontak menoleh. Hatinya sungguh sakit mendengar tuduhan ayahnya. Lihatlah, bahkan ayahnya sendiri menyalahkannya. Tampak pria itu mendekatinya dengan mata menyorot tajam seperti biasa.
"Jadi, image seperti apa yang harus aku tampilkan? Perempuan klemar-klemer yang suka merengek dan ngambekan?" Elara balas menantang mata ayahnya. Kedua tangannya terkepal erat. Pembuluh darah di pelipisnya berdenyut sebab ia menahan tangis. "Maaf, aku bukan Tira yang bisa memenuhi ekspektasi Papa. Pengalaman hidup menempaku menjadi seperti ini. Bila Papa keberatan, tanyakan pada diri Papa sendiri, sejauh mana peran Papa selama ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Quid Pro Quo (END - Terbit)
RomanceBosan didesak menikah oleh orang tuanya, Elara Soebagio Matthews memutuskan menerima perjodohan dengan Airlangga Emerald Gunardi dengan sejumlah persyaratan. Tidak akan ada cinta dalam rumah tangga mereka. Pernikahan itu hanyalah sebuah legalitas di...