Tiga Puluh Dua

5.3K 814 97
                                    

Aroma kopi yang diseduh merasuki penciuman Elara. Wangi sekali. Ia bermimpi sedang leyeh-leyeh di pinggir kolam renang sebuah villa di pedesaan Bali, menghabiskan liburan panjang dengan seorang pria. Pria itu menghadiahinya secangkir kopi paling lezat ketika dirinya membuka mata. Kepalanya diusap-usap dengan lembut. Elara tersenyum kecil. Ah, andaikan saja ini nyata!

"Morning, gorgeous."

Elara tersentak. Mimpinya seketika buyar. Ia terpaksa membuka matanya.

"Hmm, morning," jawab Elara serak. Kesadarannya perlahan-lahan kembali. Ia menggeliat sedikit, lalu meringis kecil. Persendiannya linu semua, terlebih otot pahanya. Matanya menangkap siluet Angga yang tengah menatapnya hangat. Pria itu duduk di samping Elara, bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana jeans panjang. Otot lengan dan dada Angga mengingatkan Elara akan panasnya aksi gulat mereka semalam. Elara teringat desahannya yang tak tahu malu itu. Ia sontak menaikkan sleeping bag menutupi seluruh kepalanya.

Angga terkekeh kecil. "Kamu kenapa, Cantik?"

"Pagi-pagi udah menggombal!" Elara menggerutu. "Saya malu."

"Malu?" Angga tertawa. "Ndak perlu malu, saya sudah melihat semuanya. And I can still remember the scent of your body."

"Ish! Dasar mesum," gerutu Elara lagi.

"Bangun, yuk. Saya sudah bikinin kopi buat kamu. Nanti keburu dingin." Angga menurunkan resleting sleeping bag kepunyaan Elara, tak rela sang istri menutupi wajah setelah bangun tidurnya.

Semalam, ia terpaksa mengungsikan Elara ke dalam kantong tidur, kapok menjadi sasaran empuk tendangan perempuan itu dalam ketidaksadarannya. Tidur Angga pun nyenyak sekali. Begitu terbangun, Angga bergegas membersihkan tubuhnya, lalu membuatkan secangkir kopi untuk istrinya. Seharian ini ia berencana menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan saja.

Bisa dibilang, Angga tengah berada di puncak tertinggi piramida kebahagiaannya. Damai dan nyaman rasanya bisa memeluk perempuannya di sepanjang malam, menghidu aroma kulitnya, juga menenggelamkan wajah di helaian rambutnya. Ia malah menyesal tidak sedari awal bertindak agresif mendekati Elara, malah baru berhasil menciptakan keintiman saat pernikahan mereka sudah lebih dari tiga bulan. Dasar payah!

Melihat Elara bersikap malu-malu, Angga semakin gemas. Ia menyibak sleeping bag sedikit, kemudian mengendus-endus leher Elara. "Kamu mau lagi, ndak?" bisiknya.

"Mau apa?" Elara menegang.

"Bercinta."

"Ihh!" Elara menggelinjang geli kala Angga memberikan gigitan-gigitan kecil di lehernya. "Semalam udah dua kali lho."

Setelah Elara meminum postinor, Angga memagut bibir istrinya kembali. Tangannya bergerilya di sekujur tubuh Elara. Gairah pun kembali tercipta. Gara-gara itu pula, Angga mencoba alat kontrasepsi pertamanya, lalu mengaku sentuhan alami jauh lebih 'terasa'.

"Kayaknya saya ndak akan pernah bosan bercinta dengan kamu."

Muka Elara memerah. Tengkuknya merinding. "Kenapa, sih, kalian laki-laki nggak tahu malu banget kalau lagi ngomongin cabul?" protesnya.

"Kenapa harus malu? Sama istri sendiri, kok." Angga beranjak mengambil cangkir kopi di atas meja nakas dan memberikannya kepada Elara. Ia harus menciptakan distraksi sebelum nekat menelanjangi sang istri dan bercinta kembali. Bisa pingsan Elara nanti!

"Makasih, Mas Erald." Elara menyeruput kopinya, lalu menahan kernyitan di keningnya. Kopi itu kekurangan gula, tetapi Elara tidak tega melayangkan protes. Ia menghargai cara Angga menyenangkan hatinya.

Angga tersenyum kecil. Bahkan panggilan 'Mas Erald' saja sudah menciptakan keintiman yang membuat gairahnya tersulut.

"Saya mau mandi dulu." Elara bergegas keluar dari sleeping bag-nya. Untung saja semalam ia masih sempat mengenakan pakaiannya, dibantu oleh Angga.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang