Tiga

5.5K 885 225
                                    

"Dokter? Lo yakin, El?"

Elara nyengir lebar sembari  menggenggam cangkir kopi yang terasa hangat. Iseng-iseng ia menceritakan perihal kencan butanya kepada kedua sahabatnya, Nita dan Sara. Tentu saja tidak secara detail. Gila bila ia melakukan itu. Kepada Nita dan Sara, ia hanya mengatakan dirinya dan Angga berniat saling mengenal lebih jauh. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Hampir dua minggu berlalu, kencan buta bersama Angga merupakan kencan paling berkesan untuk Elara. Bukan karena siapa lawan kencannya, melainkan ajakan konyol bin sinting itu sukses membuatnya geleng-geleng kepala. Orang gila mana yang nekat menawarkan pernikahan absurd seperti itu? Dan yang lebih absurd lagi, Elara masih memikirkannya seperti orang bodoh.

"Gitu, dong. At some point, you have to move on!" sambut Nita gemas. "Kenapa baru sekarang, sih?"

"Baru dapat momennya."

"Siapa namanya tadi?"

Elara menyebutkan nama panjang Angga yang sukses disambut Nita dengan kening berkerut.

"Kayaknya gue pernah dengar nama itu, tapi di mana, ya? Nggak asing banget di kuping gue," ujar Nita menggali ingatannya sejenak. "Ah, sudahlah." Nita mengibaskan tangannya, terlalu malas membuka peramban di ponselnya untuk mencari tahu lebih jauh "Jadi gimana? Memangnya kenapa kalau dia dokter?"

Sara berpikir sejenak. "Nggak apa-apa, sih. Cuma, kayak nggak matching aja El nanti berjodoh sama dokter."

"Maksud lo gimana, Sar?" timpal Elara ikut bingung.

"Gini, guys. Gue kepikiran aja. Punya suami dokter memang keren. Tapi, memang berapaan, sih, gaji dokter? Jomplang banget sama penghasilan lo yang dua digit per bulan. Apalagi ini cuma dokter umum. Kita tahulah, dokter umum kayaknya kurang wow belakangan. Lain hal dokter spesialis, bisa banget penghasilannya di atas gaji elo," kata Sara sangsi.

"Bisa aja dia punya praktik mandiri di rumah, kan?" timpal Nita.

"Oke, wait!" potong Elara sembari mengerutkan dahi, tak menyangka perkara gaji menjadi bahan pembicaraan mereka. Padahal menurutnya itu adalah ranah pribadi. Rasanya sangat tidak etis. "Sorry, Sar. Bukannya gue nyombong atau gimana. Gue nggak lagi dalam tahap nyari suami buat nafkahin gue, tapi nyari orang buat gue ajak kerjasama dalam membangun rumah tangga. Lagian, memangnya kenapa kalau gaji gue lebih tinggi dari gaji dia? Kan, enak? Kalau nanti kami punya cicilan, bakalan cepat lunas karena bayarnya berdua. Ya, nggak, Nit?"

Nita mengangguk membenarkan. "Benar banget. Itu juga prinsip yang gue anut sama suami gue. Kita kerja berdua, bikin rumah berdua, nyicil aset berdua, nabung berdua, biaya buat kebutuhan rumah tangga juga patungan berdua. Nggak ada istilah duit suami duit istri, tapi duit istri mutlak duit istri. Yang ada adalah duit bersama. No power play."

"Itulah masalahnya," sahut Sara tak mengindahkan argumen Nita. "Lo merasa udah mapan, tapi lo kayak nggak tahu aja, laki-laki itu gengsinya selangit. Mereka takut sama perempuan mapan. Kalau gaji lo lebih tinggi, nanti lo dianggap nggak menghargai dia. Kalian bakalan lebih sering berantem."

"Minder, gitu?"

"Yes, minder." Sara menjentikkan jarinya.

"Ah, suami gue enggak, tuh," balas Nita menyeruput minumannya. "Mending nggak usah nikah daripada nikah sama laki-laki minderan."

Elara hanya bisa terperangah, tak menyangka di era kesetaraan gender seperti sekarang ini, masalah perbedaan penghasilan masih menjadi polemik. Namun di lain hal ia harus mengakui, dilema perempuan mapan di usia yang tak lagi kinyis-kinyis adalah susah mendapatkan jodoh yang setara atau lebih tinggi. Bukan juga sekadar mitos, terkadang nilai seorang perempuan dilihat dari kecantikannya, sedangkan nilai seorang laki-laki dilihat dari isi dompetnya. Dan kebanyakan standar laki-laki mapan adalah para perempuan cantik yang masih muda.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang