"Ya ampun, sweet banget!" celetuk Anjani mengusap lelehan air di sudut matanya. Film India memang sering membuat baper. "Menurut Mbak gimana?"
"Gimana apanya?"
"Filmnya."
Elara meringis kecil. Anjani sama saja dengan kakaknya, suka bertanya pendapat Elara setelah menonton film.
Tiga jam lebih lamanya mereka larut dalam film yang dirilis tahun 1998 tersebut. Rentang waktu sekitar 17 tahun membuat sudut pandang Elara berubah drastis.
"Menurut Mbak, Anjali itu bodoh. Rahul serakah, dan anaknya egois. Aku malah kasihan sama Aman. Dia dan keluarganya nggak pantas diperlakukan seperti itu. And yeah, Aman was right. Dia pantas mendapatkan perempuan lain yang jauh lebih cantik dan bermoral ketimbang Anjali," komentarnya pedas.
"Hah?" Anjani terlongo. "Bodoh gimana?" cecarnya penasaran. Raut wajahnya berubah serius.
"Oops!" Elara menutup mulutnya, sadar telah keceplosan bicara. "Kasar banget, ya?" ringisnya malu.
Anjani mengibaskan tangannya tanda tak mempermasalahkan itu.
"Kalau aku jadi Anjali, aku bakalan milih Aman, Dek. Satu, Rahul itu hanya masa lalu. Dua, Aman mencintai Anjali dengan tulus. Bucin, deh, istilahnya. Tiga, mereka sama-sama lajang. Empat, Anjali bakalan tinggal di London, jauh lebih nyaman ketimbang India. Cinta sih iya, tapi harus rasional juga."
"Tapi Anjali cintanya sama Rahul, Mbak," bantah Anjani.
"Itulah makanya Mbak bilang Anjali itu bodoh. Apakah dia yakin Rahul mencintainya dengan tulus? Menurutku Rahul hanya kesepian dan butuh pengganti Tina. Apakah dia akan mencari Anjali kalau bukan karena surat Tina untuk anaknya? Kalau dia beneran tulus dan ada rasa, sudah sedari dulu dia mencari Anjali. Kenapa harus nunggu delapan tahun? Tapi yah, kalau skenarionya nggak kayak barusan, filmnya nggak bakalan booming, ya kan?"
"Iya, ya, Mbak." Anjali mangut-mangut. "Oke, kita lupakan dulu soal jalan cerita filmnya. Sekarang aku nanya, misalnya Mbak didekati duda macam Rahul, apakah Mbak mau menerimanya?"
Elara mengangkat bahu. "Kalo mengkaji dari sisi rasional, kemungkinan besar aku nggak mau, Jan."
"Kenapa?"
"Orang bilang, sih, kalau kita nikah sama duda, kita juga harus menerima anaknya. Aku nggak yakin bisa menyayangi anak tiriku seperti aku menyayangi anakku sendiri. Aku nggak mau naif. Bagaimanapun lucunya anak tiri, tetap aja ada kecenderungan kita bakalan lebih sayang sama anak kandung. Wong sesama anak kandung aja ada yang diperlakukan berbeda oleh orang tuanya, kok. Belum lagi ada kemungkinan aku bakal dibanding-bandingkan dengan istrinya yang sebelumnya."
Anjani tertegun. Raut wajahnya berubah seperti sedang memikirkan sesuatu.
***
Sore harinya, Angga dan Elara bertolak menuju sebuah villa cantik yang terletak di pedesaan. Villa itu memiliki fasilitas private pool yang menawan. Kamar yang ada di sana pun sangat lapang. Rencananya mereka akan kembali ke rumah orang tua Angga pada hari Sabtu nanti. Bahkan kedua orang tua Anggalah yang mendorong mereka berbulan madu singkat di sana.
Malam harinya, tentu saja ada kegiatan rutin saling bertukar peluh. Angga mengaku kecanduan. Hampir setiap hari ia tak puas-puasnya mencumbu Elara.
Keduanya terkapar kelelahan di balik selimut. Angga memejamkan matanya yang mulai berat. Sementara Elara berbaring menyamping membelakangi Angga. Tangan pria itu memeluk perutnya. Elara tersenyum tipis, berbangga hati mampu membuat suaminya selalu puas setiap kali mereka bercinta.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal di dalam benaknya. Kedua matanya tak kunjung terpejam. Pikirannya menerawang jauh menembus pekatnya langit malam yang mengintip di sela jendela yang sedikit terbuka.
Sialnya, Angga menyadari itu. Ia membalik tubuh Elara menghadap kepadanya. "Are you okay?" tanyanya dengan suara serak.
"Ya." Elara mengangguk. "Kenapa?"
"Nah, I don't think so," sahut Angga sangsi. "Kamu kenapa? Ada yang sakit? Apa aku terlalu kasar?" cecarnya cemas.
"Aku nggak ada apa-apa, kok, Mas," elak Elara. "Beneran."
Angga mengecup pipi istrinya. "Kalimat aku nggak apa-apa yang terlontar dari mulut perempuan itu biasanya punya beribu makna, Sayang. Aku ndak bisa membaca isi hati kamu. So, tell me. Whassup?"
"Nggak ada. Beneran," Elara bersikukuh menutupi isi hatinya dengan menampakkan wajah polosnya. Rasanya, ia canggung sekali mengungkapkan ganjalan itu. Bukan salah Angga, mungkin dirinyalah yang bermasalah.
Namun, Angga tidak bisa dibohongi begitu saja. "Apa ini tentang kita?"
Elara menggigit bibir. Gundah dan serba salah pun melanda. "Kentara banget, ya?" ringisnya.
Angga mengusap rambut Elara lembut. "Ayo cerita, ada apa."
"Nggak apa-apa kalau aku cerita?"
"Ndak apa-apa, Cantik."
"Aku takut Mas tersinggung."
"Ayolah. Dulu waktu kamu jutek saban hari, memangnya kamu ndak takut aku tersinggung?"
"Dulu itu beda."
"Nah, itu tahu." Angga mencolek hidung sang istri. " Lalu kenapa sekarang kamu ndak mau jujur?"
"Hmm ... " Elara menggumam ragu-ragu. "Aku mau tanya. Kalau boleh."
"Ya?"
"Memangnya, apa sih, yang Mas rasakan ketika ejakulasi?"
"Enak. Nikmat." Angga mengerutkan dahinya. "Kenapa memangnya?"
"Oh, nggak apa-apa, sih." Elara menggigit ujung bibirnya. "Nanya aja. Penasaran soalnya," lanjutnya defensif, mendadak tidak yakin untuk jujur kepada Angga.
"Yang, kamu ... " Roman wajah Angga berubah curiga. Dengan raut tegang, ia melanjutkan, "Jangan bilang kamu ... oh shit!" umpatnya setelah sadar diri, apalagi melihat respons Elara yang mendadak pias. "Kamu ndak orgasme?"
Elara menggigit bibir lagi. "A-aku ... aku nggak tahu."
"Masa ndak tahu, El? Kamu ndak tahu rasanya orgasme itu seperti apa?"
Elara menggeleng ragu-ragu.
"Memangnya kamu ndak pernah masturbasi?" cecar Angga lagi.
"Enggak," geleng Elara. "Tapi aku menikmati keintiman kita, kok," kata Elara kembali defensif.
"Astaga, El!" Angga memucat. "Jadi sejak pertama kali kita making out, kamu ndak satu kali pun klimaks?"
Elara menunduk menatap ujung selimut di kakinya. Rasanya terlalu awkward dan memalukan membahas hal ini.
"Kenapa kamu ndak bilang, Sayang?"
Elara meringis serba salah. "Is it necessary? I mean, seeing you happy is more than enough for me."
"Ya Tuhan!" Angga mengusap mukanya gusar. Perlahan ia melepaskan pelukan dan bangkit mengenakan pakaiannya.
"Mas, maaf."
"Ndak perlu minta maaf."
Elara bangkit dari tidurnya. "Mas mau ke mana?"
"Maaf, El, aku mau keluar sebentar cari angin." Angga mengecup puncak kepala Elara. "Kamu tidur duluan, ya. Good night."
"Mas, a-aku minta maaf," cicit Elara merasa bersalah. Jantungnya berdebar kencang.
"Kamu ndak salah. Aku hanya butuh angin segar."
"Mas, we can talk about this," cegat Elara lagi. "Jangan kayak gini. Sumpah, itu bukan masalah buat aku."
"Besok kita bahas, ya, El. I have too much on my plate right now."
Tenggorokan Elara tersekat. Menyesal rasanya ia sudah jujur kepada Angga. Persetan, El, makinya dalam hati. Nggak penting banget lo orgasme atau enggak!
Sementara Angga keluar kamar dengan perasaan gamang. Mukanya seperti ditampar, ditonjok bolak-balik. Mendadak ia merasa menjadi pria paling tolol di muka bumi.
Shit!
KAMU SEDANG MEMBACA
Quid Pro Quo (END - Terbit)
RomanceBosan didesak menikah oleh orang tuanya, Elara Soebagio Matthews memutuskan menerima perjodohan dengan Airlangga Emerald Gunardi dengan sejumlah persyaratan. Tidak akan ada cinta dalam rumah tangga mereka. Pernikahan itu hanyalah sebuah legalitas di...