Dua Puluh Empat

4.1K 843 145
                                    

"Misalkan nanti Papa menyinggung kamu, jangan dibalas. Biar saya yang ngobrol dengan Papa. Api dibalas api ndak akan menyelesaikan masalah."

"Nggak tahulah, Dok." Elara tersenyum kecut. "Sudah bawaan alam kalau saya pantang kalah berdebat dengan Papa. Beliau patriarki sekali. Semuanya harus nurut, manut, nggak boleh membantah. Laki-laki adalah raja. Tahu prinsip pegas, kan? Semakin keras Papa menekan saya, semakin kuat saya menunjukkan perlawanan."

Elara menceritakan tentang ketidakadilan yang diterimanya dari ayah dan ibunya. Ia menyebutnya sindrom si anak tengah.

Seringkali pakaian yang ia punya adalah bekas kakaknya. Padahal ayahnya terbilang sangat mampu memberikan banyak uang untuk memenuhi kebutuhannya. Uang jajannya pas-pasan, berbeda dengan Tira yang berlebihan. Sedangkan Arby bisa dibilang lumayan.

Selain dari segi materi, ia juga tidak mendapatkan keadilan dalam bidang pendidikan. Otaknya pintar, tetapi harus rela belajar di sekolah gurem bermasa depan suram. Tira diberi akses pendidikan di sekolah swasta yang SPP–nya jutaan per bulan, padahal prestasi Tira seringkali nyungsep ke peringkat paling belakang.

Ia tidak meminta berganti posisi dengan Tira, atau berharap bersekolah di sekolah internasional, tetapi setidaknya mereka diperlakukan sama. Memasuki usia remaja, ayahnya sedikit melunak dan menyekolahkannya di SMA swasta unggulan. Tentunya untuk masuk ke sana bukan hanya mengandalkan uang, tetapi isi kepalanya.

Memasuki bangku kuliah, ia kembali tunggang langgang menempa mental. Ayahnya menolak memberikan biaya hidup dan Elara harus struggle sendirian dalam menamatkan pendidikan tingginya.

"Jadi sewaktu kuliah di UI, kamu kerja di mana? Apa nggak mengganggu jam belajarmu?" tanya Angga penasaran. Ia diam-diam menyimpan rasa kagum terhadap Elara.

"Malam hari saya jadi kasir di kafe punya ibu kos, Dok. Sore saya ngajar les private dari rumah ke rumah. Kimia, Matematika, Fisika—"

"Fisika?" Angga mengerutkan dahi.

Elara terkekeh. "Saya anak IPA, lho."

"Lalu kenapa kamu malah memilih kuliah di keuangan?"

Elara mengangkat bahu. "Realistis saja, saya butuh uang. Saya pikir terjun di jurusan keuangan memberikan peluang karier yang cukup besar dibandingkan jadi ilmuwan. Saya nggak berminat jadi akademisi ataupun researcher. Tahu sendirilah nasib tenaga riset di negeri ini gimana, memprihatinkan. Pantasan saja banyak awardee LPDP yang kuliah di bidang science pada ogah pulang."

Angga tertawa.

"Again, setelah menikah, Tira dibelikan rumah mewah di PIK. Sementara saya nggak dapat apa-apa." Elara membuang muka menahan air matanya yang tergenang. Biaya pernikahannya kemarin pun ia yakini hanya untuk mempertahankan gengsi bagi ayahnya, berhubung orang tua Angga bukan orang sembarangan. "Maksud saya, sebagai anak, wajar, kan, saya berharap Papa itu adil?"

"El, boleh saya urun pendapat terkait rumah yang diberikan Papa untuk Tira?" tanya Angga berhati-hati.

Elara mengangguk. "Oke, silakan."

"Bila melihat dari kacamata saya, terlebih kacamata kamu, Papa memang pilih kasih. Kakakmu memang serakah akan uang. Setuju?"

Elara mengangguk. "Lalu?"

"Tapi, demi ketenangan batinmu, coba kamu balik mindset kamu. Kamu ndak punya hak mengendalikan harta orang tuamu. Suka-suka mereka mau ngasih apa buat siapa. Apakah itu buat kamu, Tira, ataupun Arby. Mereka juga ndak harus membagi sama rata meskipun menurutmu idealnya memang begitu."

"Tapi—"

"Maaf, kamu dengarkan dulu, ya," potong Angga tenang. "Saya paham. Yang kamu rasakan itu valid, kok. Hanya saja, kalau kamu melihat dari sudut pandang yang berbeda, saya harap kamu bisa menurunkan ekspektasi tentang bagaimana orang tuamu memperlakukanmu.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang