Lima

4.9K 975 257
                                    

"Permisi, Pak."

"Ya?" Angga mengangkat kepala. "Kenapa mukamu bete begitu?" sambungnya memperhatikan ekspresi asisten pribadinya, Syila.

"Ada telepon dari gebetan Bapak," sahut Syila bosan, baru saja menjawab telepon dari perempuan yang sama yang jadwalnya sudah macam minum obat, tiga kali sehari.

"Gwen?"

Syila mengangguk.

"Kamu jawab apa?"

"Saya bilang Bapak lagi meeting."

"Good." Angga nyengir.

"Besok saya harus bikin alasan apa lagi, Pak? Masa meeting, sibuk, atau keluar melulu?" sambung Syila. Ia cukup beruntung memiliki bos yang sikapnya ramah dan memperlakukan bawahannya dengan baik. Saking ramahnya, pria itu memiliki banyak penggemar, terutama perempuan. Dalam kurun waktu empat bulan sejak Angga menjabat, tak terhitung berapa perempuan yang menelepon atau nekat datang ke kantor. Semuanya perempuan berkelas yang herannya dicuekin oleh atasannya. Terkadang malah Syila yang kerepotan mengusir mereka.

Perempuan terakhir bernama Gwen, seorang artis cantik yang sering muncul di layar televisi. Tak jarang Gwen mengirimkan makan siang untuk Angga yang selalu berakhir di meja Syila. Tentu saja Syila kegirangan makan makanan mewah dari restoran ternama.

Angga bilang, Syila harus berhati-hati, siapa tahu aneka makanan tersebut dikirim lengkap dengan jampi-jampian cinta. Angga juga menyarankan, sebaiknya Syila melangkahi makanan tersebut tiga kali sebelum memakannya. Konyolnya, Syila mengikuti saran itu meski keningnya berkerut. Sayang rasanya bila makanan itu harus berakhir di tempat sampah. Ketika Angga tak sengaja melihat aksinya, pria itu malah tertawa terpingkal-pingkal.

Keuntungan kedua, bosnya belum menikah. Sebagai asisten pribadi, beban kerjanya jauh berkurang. Berbeda saat menjadi asisten pribadi direktur sebelumnya, ia harus mengatur jadwal kerja sampai jadwal pribadi sang direktur, termasuk mengurus keperluan pribadi keluarganya. Mengingatkan jadwal arisan sang nyonya, misalnya.

Jadi, siapa bilang menjadi asisten pribadi itu enak? Malah melelahkan dan harus siap tahan banting. Ditambah lagi nyinyiran serta stigma tidak menyenangkan di luar sana bahwa menjadi asisten pribadi juga harus siap menjadi selingkuhan sang atasan. Gila!

Angga tersenyum simpul tanpa menatap Syila, melainkan fokus ke layar komputernya. "Sakarepmulah mau jawab apa. Saya pasrah wae," jawabnya pelan.

Syila mengembuskan napas panjang, bosnya kumat lagi. Terkadang pria itu bicara dengan logat Jawa, terkadang dengan logat Jaksel. Aneh!

"Kalau boleh tahu, kenapa Bapak nolak beliau? Kan cantik, Pak. Artis lagi," cecar Syila tak puas. 

"Memangnya kalau dia artis dan cantik, saya harus suka?" Angga balik bertanya.

"Yah, nggak juga sih, Pak."

"Saya ndak suka perempuan agresif. Belum jadi pasangannya saja saya diabsenin tiga kali sehari, gimana kalau jadi? Mungkin tiap jam saya ditelponin." Angga geleng-geleng kepala. "Oh, ya. Sudah ada kabar kapan tim surveyor KARS mau datang?"

"Jumat pagi, Pak," sahut Syila sigap.

"Oke. Kalau gitu, tolong batalin jadwal saya di studio, ya, biar mereka bisa cari narsum pengganti."

"Baik. Ada lagi, Pak?"

"Bahan makanan saya sudah habis. Kamu bisa bantuin belanja? Masih punya daftarnya, kan?"

"Masih, Pak."

"Tolong kamu isikan ke kulkas saya." Angga menyerahkan access card apartemennya kepada Syila. "Sekalian tolong ambil pakaian saya di binatu.'

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang