"Malam, Elara."
Elara terperanjat. Baru saja ia menguak pintu apartemen, terdengar Angga menyapanya dari dapur. "Hai, malam," balasnya.
Pria itu sedang menyiram sepiring salad sayur campur buah dengan mayonaise. Angga masih mengenakan pakaian kerja. Lengan kemeja putihnya digulung sampai ke siku. Elara harus membuang muka, enggan memperhatikan Angga lebih lama. Walaupun tak lagi menghindari Angga, ia harus lebih berhati-hati terhadap kesehatan jantungnya. Elara masih belum kepingin mati muda.
"Kamu tahu ndak? Pada tahun 2012, 600.000 orang mati karena perang, 800.000 mati bunuh diri, dan 1.5 juta mati karena diabetes. Artinya, manusia lebih banyak mati karena gula alih-alih bubuk mesiu," celetuk Angga. "Mau salad?"
"Nggak, makasih," tolak Elara. Keningnya berkerut. "Kamu lagi latihan pidato buat talkshow?"
Angga menunjuk minuman di tangan Elara dengan ujung dagunya. "Kalau kamu tiap hari minum itu, saya jamin sebelum usia empat puluh kamu sudah terkena diabetes kronis."
Elara memutar bola matanya. "Nggak usah rese, deh!"
"Rese?" Angga mengangkat alis. "Saya ndak rese, cuma mengingatkan. Benar, kan, kamu minum itu tiap hari?"
Bagi Angga, banyak sekali minuman kekinian merupakan racun yang membunuh perlahan-lahan. Kadar gulanya tinggi sekali. Sayangnya, hampir setiap pulang bekerja, Elara menenteng minuman tersebut di tangannya.
Seharusnya di awal usia tiga puluhan seseorang sudah mulai aware terhadap isu-isu kesehatan, lalu belajar memperbaiki pola hidup serta pola makan. Ia juga menebak Elara malas bergerak. Satu bulan lebih hidup bersama, tak pernah satu kali pun ia melihat Elara berolahraga. Di akhir minggu misalnya, perempuan itu selalu pergi keluar dengan pakaian rapi, mungkin untuk nongkrong atau semacamnya. Pertemuan mereka di arena sepeda dulu hanyalah sebuah anomali.
"Kenapa kamu harus repot-repot mengingatkan saya?"
"Karena kamu istri saya, El."
"Oow!" Elara merasakan hatinya menghangat. "Tenang aja. Nanti kalau saya kena diabetes, saya minum ekstrak biji mahoni. Sembuh deh, tuh!" balasnya meremehkan ucapan Angga.
Siapa bilang diabetes tidak bisa disembuhkan? Ia membaca beberapa artikel tentang kesembuhan pasien diabetes di media sosial, berkat obat-obatan herbal yang sudah teruji khasiatnya sekaligus lebih natural. Obat-obatan medis tak selalu bisa diharapkan.
"Oh, ya? Yakin sembuh? Atau kamu hanya mendengar selentingan testimoni? Beri saya bukti ilmiah bahwa biji mahoni bisa menyembuhkan diabetes, baru saya bisa percaya," bantah Angga. "Setiap obat-obatan harus melalui tahap uji klinis terlebih dahulu sebelum bisa diklaim menyembuhkan suatu penyakit. Evidence based medicine, bukan evidence based testimonial."
"Lagipula saya nggak gendut, kok," bantah Elara keras kepala.
"Memangnya diabetes itu harus menunggu gendut dulu? Orang kurus pun banyak yang terkena diabetes."
Angga menjelaskan, diabetes tidak bisa disembuhkan. Penderita hanya bisa mengontrol kadar gula darahnya. Setelah seseorang divonis diabetes, seumur hidup orang tersebut harus menjaga pola hidup dan pola makan. Pankreas yang sudah terlanjur rusak tidak bisa diobati, kecuali ada teknologi untuk meregenerasi sel-sel pankreas itu sendiri yang mana sampai saat ini teknologi seperti itu masih belum eksis. Satu-satunya cara adalah transplantasi pankreas yang tingkat kerumitannya tinggi sekali, ditambah risiko yang menyertainya. Belum lagi, diabetes juga menjadi awal mula berbagai penyakit kronis lainnya serta menyebabkan komplikasi. "Jadi, jaga tubuhmu baik-baik. Jaga pola makanmu dan aktif bergerak. Hanya itu salah dua cara yang menunjukkan kamu mencintai tubuhmu sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Quid Pro Quo (END - Terbit)
RomanceBosan didesak menikah oleh orang tuanya, Elara Soebagio Matthews memutuskan menerima perjodohan dengan Airlangga Emerald Gunardi dengan sejumlah persyaratan. Tidak akan ada cinta dalam rumah tangga mereka. Pernikahan itu hanyalah sebuah legalitas di...