Dua Puluh Lima

4K 886 140
                                    

"Ben, aku hamil."

"Jangan bercanda. Aku lagi stres mikirin kerjaan." Beno mengibaskan tangannya.

"Aku nggak bercanda, Beno. Aku hamil!" Dengan kalut Tira membentak Beno.

"Kamu ... beneran?" Beno ternganga. "Ha-hamil bagaimana?" Tergagap ia mengguncang bahu Tira. Mukanya perlahan memucat bagaikan kertas putih.

"Ya, hamil. Ini ... " Tira mengeluarkan alat tes kehamilan yang menunjukkan dua garis merah. "Aku telat dua minggu."

"Kok, bisa?!" seru Beno tak percaya. "Kita hanya melakukannya satu kali!"

"Nikahi aku, Ben. Aku nggak mau aborsi."

"Ya Tuhan, itu cuma satu kali!" Beno meremas rambutnya frustrasi. Ia terduduk di sudut kamar kosnya. Jantungnya berdentam keras dalam rongga dada.

Beno tak menyangka, kekhilafannya berujung malapetaka. Malam itu, Tira datang ke kamar kosnya dan mengajaknya mengobrol. Ia sungkan menolak. Perempuan itu adalah kakak pacarnya. Penampilan sensual Tira, serta agresifnya Tira yang menciumnya terlebih dahulu tak mampu ia tolak.

Tatapannya tertuju pada cincin polos yang melingkar di jari manisnya.

"El," bisiknya lirih. "Ya Tuhan ... " Matanya mulai basah. Terbayang olehnya raut malu-malu Elara ketika memasangkan cincin tersebut ke jarinya. Belum genap tiga bulan mereka menjalani hubungan jarak jauh karena ia ditugaskan oleh kantor ke Bandung, ia sudah berkubang dalam lembah dosa. "El, maaf. Maaf."

Lalu Beno mulai terisak.

"Kita harus menikah, Beno."

Kata-kata Tira tak lagi terdengar di telinganya. Lututnya menggigil hebat.

Ada luka tak berdarah yang Beno rasakan. Ia sudah menduga Elara dan suaminya pasti datang. Sayangnya, ia tidak bisa mengelak dari perintah ayah mertuanya. Tadinya ia malah sangat berharap tiba-tiba dirinya sakit parah.

Meskipun sudah punya darah daging bersama Tira, nyatanya susah membuat Beno beralih rasa. Di satu sisi, Tira selalu berusaha menjadi istri yang baik. Tira melayani kebutuhannya, lahir dan batin. Namun di sisi lain, ia merasa jiwanya terpasung. Beno kehilangan kuasa atas dirinya sendiri. Hidupnya tak ubahnya bagai robot berjalan. Terjebak bersama Tira adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Yang lebih menyakitkan lagi, kini ia harus menyaksikan sang mantan pacar bersama suaminya, tepat di depan matanya. Keduanya tampak serasi dan bahagia. Ayah mertuanya juga menyukai Angga. Pria itu pandai membaur, berkharisma, dan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan.

Beno bahkan tak pantas membandingkan dirinya dengan Angga. Pria itu punya segalanya. Hanya ia yang tak tahu diri. Diterima dengan tulus oleh Elara, tetapi ia membalasnya dengan sakit tak terperi.

"Ayo, Nak Angga, diambil makanannya. Jangan sungkan-sungkan," celetuk Nora mempersilakan menantunya mengambil makanan.

"Terima kasih, Ma. Sepertinya menggoda selera semua, saya jadi bingung mau nyicip yang mana," sambut Angga antusias.

Nora tertawa kecil. "Nanti boleh dibungkus pulang, kok."

"Ah, Mama bisa aja." Angga tertawa, lalu mulai mengisi piringnya dengan makanan.

Bertepatan saat Beno hendak mengangkat piring berisikan udang goreng, ternyata Elara lebih dahulu melakukan hal yang sama.

Kulit mereka tanpa sengaja bersentuhan. Piring tersebut terlepas dari tangan Elara. Untung saja isinya tidak berhamburan. Beno langsung menarik tangannya.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang