Lima Belas

4.1K 882 69
                                    

"Papa nggak datang, Ma?"

"Papamu ada pekerjaan di luar kota."

"Oh." Elara hanya bisa bergumam pendek. Sudah biasa bila ayahnya hampir tak pernah hadir pada momen-momen penting dalam hidupnya. Bahkan pria itu tidak meluangkan waktu menemani Elara di hari kelulusan SMA-nya. Ayahnya juga takkan menghadiahinya dengan sorot mata bangga ketika namanya masuk dalam daftar lulusan terbaik salah satu dari sepuluh SMA top di Indonesia.

Elara berharap pada ayahnya satu kali itu saja. Namun sepertinya, ia harus mendulang kecewa. Harapannya terlalu besar.

Untuk merayakan kelulusan, sang ibu membawanya ke sebuah pusat perbelanjaan dan membiarkan Elara memilih pakaian atau barang-barang yang disukainya. Elara yang seringnya harus puas menjadi prioritas nomor dua tentu saja menyambut ide itu dengan senang hati. Wajahnya berseri-seri.

Tiba di dekat sebuah toko perhiasan, tatapannya tertumbuk pada seorang perempuan hamil di kejauhan. "Tante Jihan?" gumamnya.

Keningnya berkerut samar. Setahunya, perempuan itu masih lajang. Lalu, kenapa bisa hamil? Kapan dia menikah? Mengapa keluarganya tak diundang? Atau jangan-jangan ayah dan ibunya diam-diam pergi ke pernikahan Jihan? Sayang sekali Jihan tidak turut mengundang Elara. Padahal Elara lumayan sering mengobrol dengan Jihan kala perempuan itu mampir ke rumah.

Tak lama setelah itu, seorang pria muncul dari belakang dan menggandeng tangan Jihan dengan mesranya, lalu mengusap perutnya. Perempuan itu menggelendot manja.

Jantung Elara seakan-akan berhenti berdetak. "Papa?"

Berbagai pertanyaan simpang siur di kepalanya bak jalinan kabel kusut. "Ma?" panggilnya dengan suara bergetar. Ia tidak terlalu bodoh menyimpulkan adegan pendek di depan matanya itu. Ayahnya dan Jihan pasti punya hubungan khusus.

Elara menoleh dan mendapati ibunya sama membekunya di tempatnya berdiri. Muka ibunya merah padam. Tampak amarah menyala-nyala di kedua bola matanya. Kantong belanjaan yang tadi di tangan ibunya kini teronggok diam di lantai.

"Ayo pulang, El." Nora memungut kantong belanjaannya lalu menyeret tangan Elara.

"Tapi, Ma—"

"Pulang, Elara!"

"Setidaknya jelaskan padaku mengapa Tante Jihan menggandeng tangan Papa, Ma!" balas Elara melepaskan tangan ibunya dengan paksa. Berjuta pertanyaan meledak di kepalanya.

Nora menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Sebentar lagi kalian akan punya adik dari Jihan."

Elara ternganga. "Apa?"

Nora mengangguk. "Benar. Jihan adalah istri muda papamu."

Peristiwa itu mencengkram kuat dalam ingatan Elara. Meskipun ia memiliki minim kedekatan emosional dan psikologis dengan ayahnya, tetap saja pemandangan menyakitkan itu membuat amarahnya meletup-letup bak cairan panas. Gejolak emosi masa muda membuatnya ingin mencakar wajah Jihan sampai berdarah-darah.

Ia berusaha menutupi kejadian tersebut dari Arby selama beberapa minggu, walaupun tak lama kemudian Arby datang mengadu dengan pipi bengkak karena dihajar oleh ayahnya. Arby kecil nekat mengkonfrontasi sang ayah setelah melihat pria itu nekat mencium pipi Jihan di teras rumah.

Entah bagaimana perasaan Tira. Ketika Elara menyampaikan perselingkuhan ayahnya kepada Tira, perempuan itu hanya menyeringai. "Sakit hati, ya? Pasti sakit, dong?"

"Maksud lo apa?" Mata Elara setengah terpicing, tak mengerti maksud ucapan Tira.

Tira mengangkat bahu. "Laki-laki punya hak memiliki maksimal empat perempuan, kan? Peduli setan dengan perasaan anak istri. Masa lo nggak tahu? Sekarang lo tahu, dong, gimana rasanya?"

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang