Tiga Puluh

4.6K 914 110
                                    

"You okay?" selidik Angga melihat ekspresi istrinya mendadak tegang. Ia melambaikan tangan di depan hidung Elara kala perempuan itu termenung lama. "El?"

"Hah?" Elara tergagap dari lamunan. "Oh! I–iya, kenapa?"

"Whassup?"

Elara meletakkan ponselnya. Bibirnya ditarik menyerupai garis lurus. "Nggak apa-apa. Cuma masalah kerjaan, ada laporan keuangan yang perlu direvisi. Kayaknya tadi konsentrasi saya agak error," katanya beralasan. Jantungnya masih berdegup resah, namun ia mengusahakan tetap tenang. Seperti sikap Angga yang tetap chill out ketika dirinya misuh-misuh tak karuan.

Konyol rasanya ia mengonfrontasi Angga. Jangan sampai pria itu tahu di dadanya kini tengah tersulut bara. Lagipula, bukankah mereka sudah berjanji untuk tidak saling mencampuri urusan masing-masing?

Tapi ini Tira, El! Si pelakor jahanam! Elara bimbang sejenak. Sepertinya perempuan itu sedang mencoba-coba cari perkara.

Tiba-tiba terpikir olehnya, mungkin inilah waktu yang tepat untuk menguji kejujuran Angga, sebelum Elara telanjur terperosok memercayai pria itu sepenuhnya.

"Kamu mau balik sekarang? Urgent ndak?" cecar Angga.

"Enggak, kok. Nanti aja." Elara memaksakan diri menghabiskan sisa makanannya. "Oh, ya, obrolan kita tadi sampai di mana?"

"Kamu makin cantik kalau sedang grogi."

"Saya penasaran ada berapa banyak perempuan yang kamu goda seperti barusan."

"Cuma kamu."

"Oh, really?" Elara menopang dagunya sambil menatap suaminya.

"Kamu sedang apa?" tegur Angga. Ia meneguk minumannya, dan mengangkat alisnya kala Elara masih menatapnya intens. "Ada yang salah?"

"I'm just teasing you." Elara mengedipkan sebelah matanya. Jangan pikir, Elara tak sanggup berbuat genit, meski perutnya perlahan melilit. "Saya suka mata kamu, Dok. Beautiful."

"Ah! You'd better don't!" Angga menggerutu. "Shit!" umpatnya sambil terkekeh salah tingkah. 

"What?"

"Kamu pastinya ndak mau tahu tentang apa yang berkeliaran di benak saya saat ini, El," sahut Angga gemas.

"Lemme know."

"I want you," tembak Angga.

Elara langsung terbahak. "Nggak jauh-jauh dari pikiran mesum ya, Dok?"

"Saya sudah pernah bilang, kan? Susah menyingkirkan pikiran mesum saya saat sedang bersama kamu."

"Dasar omes!"

"Mesum sama istri sendiri apa salahnya? Bukan sama perempuan lain, kok."

Elara terdiam. Ucapan Angga barusan membuatnya tersentil. Bagaimana bila nanti ada perempuan lain?

Angga berdeham serba salah. "Maaf sudah bersikap keterlaluan, padahal saya sudah berjanji tidak—"

"Santai, Dok. Saya nggak apa-apa,"
potong Elara sambil mengibaskan tangannya. "Oh, ya. Tadi mobilnya rusak atau bagaimana? Kok, malah ke naik Grab ke kantor saya?" pancingnya.

Angga menelan ludah. Terlepas dari status Tira sebagai kakak iparnya, ia tahu perempuan itu adalah musuh bebuyutan istrinya. Bagaimana tidak, bila benar Beno mengkhianati Elara dengan menghamili Tira, tidak mungkin Elara bisa memaafkan Tira begitu saja.

Sejenak, ia merasa bimbang. Dan sedetik kemudian, ia memutuskan berterus-terang. "Tadi saya ketemu Mbak Tira di lobby gedung stasiun TV."

"Tira?" Elara mengangkat kepala. "Okay. Then?"

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang